Sabtu, 27 Februari 2016

"SECANGKIR KOPI UNTUK KEBEBASAN"

Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka, selepas keluar penjara, yang diinginkan ialah mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan secangkir kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara yang paling baik.
            Matanya meneliti sekeliling dengan penuh minat. Kedai kopi itu bernuansa vintage, dengan dekorasi berupa beberapa lukisan bergaya pop art warna-warni di dinding. Alunan musik jazz instrumental mengalun dari stereo. Cahaya matahari sore yang mulai melembut masuk dari jendela. Jingga yang tidak menyilaukan.
            Ia suka. Sama sukanya dengan secangkir kopi hitam di tangannya. Harum sekali.
            Jam dinding di kafe menunjukkan pukul empat kurang lima sore. Dulu, jam segitu ia akan ditelepon lelaki itu. Lelaki itu akan mengecek keberadaannya, baik lewat telepon rumah maupun ponsel – hanya untuk memastikan agar ia tidak berani kemana-mana tanpa seizin lelaki itu. Bila belum pulang juga, siap-siap saja menerima bentakan tanpa henti lewat telepon, makian lewat SMS, atau malah keduanya – tergantung suasana hati lelaki itu. Itu pun masih belum apa-apa.
            Kalau hanya didorong atau dicengkeram masih lumayan. Lain cerita bila ia berakhir dengan bibir berdarah atau mata lebam. Dibilang istri durhaka, disumpahi masuk neraka.
            Terakhir kali, ia sampai dikurung seharian penuh di rumah, sama sekali tidak bisa keluar. Atas nama cinta, ia malah berstatus sandera.
            Ia menarik napas, lalu menghabiskan sisa kopi hitamnya. Ia masih ingin di kedai kopi itu, mencicipi damai. Sudah lama sekali ia tidak merasa seaman ini. Ia bisa selamanya begini, entah sambil membaca novel atau menulis catatan harian. Mengetik di laptopnya, seperti yang dulu sering dilakukannya sejak remaja hingga waktu kerja.
            Ponselnya berdering. Ia menjawabnya: “Halo?”
            Ternyata dari rumah sakit. Lelaki itu tidak bertahan lama. Karena kebodohannya sendiri, akibat terjun bebas dari balkon lantai dua rumah mereka malam itu. Bagian otopsi menyatakan kematiannya karena bunuh diri.
            Ia tersenyum. Tarikan napasnya begitu lega, begitu lancar.
            Kadang ada untungnya berbadan mungil, karena dapat menghindar dari serangan bila lawan terlalu emosi hingga membabi-buta. Selama ini, ia biarkan saja lelaki itu minum terus sampai puas. Kadang, lelaki itu terlalu mabuk untuk menyadari zat antibeku yang sengaja ia tambahkan dalam gelas. Banyak yang menganggap lelaki itu tampak stres. Biarkan mereka mengiranya depresi.
            “Turut berduka cita, Ibu,” kata suara itu di telepon. Ia terpaksa harus menarik napas dan menghembuskannya keras-keras, agar terdengar seperti sedang menangis.
            “Terima kasih. Saya akan segera ke sana.” Pembicaraan terputus. Masih dengan senyum yang sama, ia memanggil pelayan. Memesan secangkir kopi lagi.

            Kebebasannya kini lengkap. Memang, kadang butuh usaha ekstra untuk keluar dari penjara tertentu, terutama bila seluruh dunia seakan setuju bahwa kamu memang pantas berada di situ, sebelum berbalik memunggungimu – dengan alasan itu bukan urusan mereka...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar