Bukan bermaksud narsis, tapi memang banyak cerita di balik nama
saya. Banyak ejaan dan panggilan berbeda, mulai dari karena salah
dengar, salah asumsi, hingga ‘cuma’ tidak peduli.
Orang tua memberi nama saya Ruby Astari. ibu menyukai batu mulia
berwarna merah yang dinilai sangat mahal itu. Beliau juga penggemar Astari Rashid. Tampaknya beliau berharap saya tumbuh menjadi pencinta seni sekaligus perempuan anggun dan feminin.
Setidaknya yang pertama terwujud.
Sejak kecil, mayoritas tetangga sekitar rumah memanggil saya Robi. Entah mengapa demikian. Berkali-kali Ibu dan saya membetulkan, “Ruby, bukan Robi.”
Masih saja ada yang salah panggil. Lama-lama saya curiga, jangan-jangan
mereka tidak peduli. Yang penting saya masih menengok dan menyahut
saat dipanggil. (Padahal, saya hanya capek mengoreksi.) Gara-gara
itulah saya sempat berspekulasi bahwa itu sindiran. Maklum, saya bukan
perempuan feminin sejak kecil.
Kasus salah panggil kerap terjadi saat pertemuan keluarga besar.
Memang, kami jarang sekali bertemu. Entah mengapa ada yang memanggil
saya ‘Ribby’. Setiap dibetulkan, hasilnya sama saja. Lama-lama saya pun lelah. Sudahlah.
Selain salah panggil, yang juga sering terjadi adalah salah asumsi. Sepengetahuan saya, ‘Ruby’
hanyalah nama untuk perempuan - terutama di dunia barat dan
internasional. Anehnya, hanya di Indonesia nama itu diberikan juga untuk
laki-laki. Malah lebih banyak yang mengira nama itu ‘hanya’ untuk laki-laki. Beberapa kali saya memperkenalkan diri, ada saja yang berkomentar: “Ruby? Kayak nama cowok!”
Gara-gara itu pula, nama saya sempat ‘nyasar’ ke dalam daftar
penduduk laki-laki saat pilkada gubernur. Panitia penyelenggara
langsung memindahkannya ke daftar yang benar saat saya muncul dengan
KTP saya. Memalukan.
Masih ada lagi, yaitu soal salah eja. Ibu pernah marah besar waktu
menerima kartu pasien untuk saya dari salah satu rumah sakit di
Jakarta. Di kartu itu tercetak nama ‘RUBBY ASTARI’. Sayangnya,
saat beliau menuntut penggantian nama (berikut kartunya), tidak ada
tindakan apa-apa. Dari SD hingga kuliah, nama saya di kartu pasien RS
tersebut masih sama.
Hingga saat dompet saya kecopetan. Berhubung malas meminta penggantian
kartu dari RS yang sama, saya mendaftar ke rumah sakit lain dan
untungnya kali ini nama saya dicetak dengan benar.
Ada juga yang berulang-kali menulis nama saya dengan: ‘RUBI ASTARI’. Boleh saja berdebat dengan alasan bunyinya tetap sama atau orang Indonesia tidak terbiasa melafalkan akhiran ‘y’ sebagai ‘i’. Argumen saya tetap sama: bukan itu nama yang tercantum dalam akte kelahiran, KTP, maupun CV saya.
Bahkan, ratu talkshow dari Amerika Serikat pun mengalami nasib
yang membuatnya terpaksa mengganti nama. Bayangkan, hanya karena
kesalahan pencatatan sipil, nama Orpah Winfrey bisa menjadi Oprah Winfrey. Untung nama itu membawa hoki.
Seorang rekan melihat bahwa masih banyak orang tua di Indonesia yang
memberi nama anak tanpa riset lebih lanjut. Selain nama saya yang ‘kata mereka’ seperti nama laki-laki, rekan saya mengenal seorang laki-laki bernama Eva.
(Eva / Hawa adalah istri Nabi Adam AS.) Padahal, asal terdengar keren
tanpa benar-benar mengetahui arti dan asal nama tersebut, sang anak bisa
menghadapi kesulitan nantinya. Contoh: apabila laki-laki yang bernama
Eva tersebut pergi ke luar negeri dan berinteraksi dengan orang-orang
yang mengetahui arti dan asal namanya, bukan tidak mungkin nanti dia
akan ditertawakan. Belum lagi masalah asumsi petugas catatan
administrasi di bagian imigrasi. Bagaimana kalau nasibnya seperti saya
saat pilkada gubernur, meski kali ini dengan alasan valid bahwa Eva
sebenarnya memang nama untuk hanya perempuan?
Mungkin banyak yang akan menuduh saya terlalu sensitif perihal nama.
Yang gemar menggampangkan masalah juga pasti berdalih dengan alasan:
“Ah, cuma beda satu huruf. Ribut amat!”
Entah apa mereka masih berargumen demikian, jika suatu saat mereka batal ke Eropa - ‘cuma’
gara-gara nama yang tercantum di tiket selisih satu huruf dengan yang
ada di paspor. Atau seperti yang dialami seorang mahasiswa dari Florida.
Zachary Garcia sempat panik setengah mati saat iseng meng-google namanya sendiri dan menemukan fotonya sebagai tersangka pembunuhan. Usut punya usut, ternyata kepolisian Folk County Office keliru memasukkan biodata dan foto Zachary dengan pelaku sebenarnya dengan nama ZACHERY GARCIA.
Dalam hal ini, hanya satu yang perlu diingat: komputer hanya menyimpan
data yang disimpan manusia. Masih mau meremehkan nama yang salah dieja?
R.
( 04 August 2011 | 17:42)
Rabu, 31 Juli 2013
Minggu, 21 Juli 2013
"SAAT CERDAS TAK SEKEDAR 'GELAR'..."
"Hahaha, bego lu! Masa gitu aja gak bisa / ngerti?"
"Logika lo dimana, sih? Otak lo ketinggalan?"
"Dasar goblok! Idiot!!"
Sering dengar ucapan-ucapan bernada kasar di atas? Dari orang-orang tersayang, mungkin? (Sayang sekali.)
Jika Anda merasa nggak nyaman membaca makian-makian di atas, bersyukurlah. Berarti Anda masih manusia yang punya hati (terlepas dari sosok-sosok 'sok jagoan' di luar sana yang mungkin akan menganggap Anda terlalu cengeng, lembek seperti tempe, dan kelewat sensi. "Payah, baru gitu aja udah tersinggung!" Halooo, siapa sih, yang senang dihina-hina - apalagi di muka umum pula?!)
Saya sadar, dulu saya bukan murid langganan ranking tinggi. Prestasi saya ibarat berat badan saya - sama-sama senang main yo-yo. (Hehe.) Kadang naik, kadang turun. (Andai saja tidak kebalik - yang prestasi naik terus, berat badan kalo bisa turun terus.) Belum lagi harus minta bantuan tutor sepulang sekolah. Jujur, saat itu saya sempat merasa 'bodoh'. Apalagi banyak ucapan bernada kecewa ditujukan pada saya, seperti: "Kalo orang lain bisa, kenapa kamu enggak?"
Hal itu diperparah sistem pendidikan di Indonesia. Kayak sistem pembagian IPA dan IPS, serta 'pendewaan' jurusan IPA oleh sejuta umat. Ortu lebih bangga bila anak mereka lulusan IPA. (Kayaknya, hingga kini masih banyak juga ortu yang bercita-cita punya anak dokter.)
Nggak hanya itu. Seseorang baru dianggap cerdas kalo tahu banyak hal, alias mampu mengingat banyak fakta. (Baca = menghapal.) Selain itu, pasti langsung dituduh kurang atau nggak pernah baca...atau dianggap kurang atau nggak cerdas. Sesederhana itu. Yang berpikir kritis malah masih dianggap pembangkang yang nggak tahu aturan atau sopan-santun.
Saking 'silau'-nya sama gelar dan IQ ("Wah, dia punya dua gelar S1!" atau "IQ-nya ada 180!"), banyak yang suka lupa bahwa - sama seperti rezeki dan jodoh - kecerdasan pun berkah dari Allah. Bukannya nakutin, tapi berhak lagi-lagi bisa diambil kembali bila yang diberi menjadi sombong dan lupa daratan. (Apalagi bila disumpahi sama yang sakit hati.) Apa gunanya bila cerdas tapi nggak bisa jaga perasaan orang? Apa gunanya gelar bila hanya dipamerkan? Bukankah pada dasarnya manusia saling membutuhkan? Ngapain malah saling merendahkan?
Mungkin orang-orang yang hobi memaki-maki Anda merasa lebih cerdas dan berhak mencari pembenaran atas perbuatan mereka yang menyakiti hati Anda. Entah karena kehabisan kesabaran, kurang bijak, lelah, hingga ego belaka. Apa pun alasannya, mereka suka lupa bahwa ucapan mereka hanya akan mengundang rasa benci, bukan simpati. Selain itu, sebenarnya mereka juga pencinta standar ganda: mereka sendiri juga nggak suka dimaki-maki.
Terlepas dari siapa yang benar dan salah, mengapa harus berdialog dengan makian? Bukankah masih banyak cara lain yang lebih elegan? Hayo, ngakunya cerdas??
Lagi-lagi, kita rajin diingatkan (agar bisa saling mengingatkan) untuk belajar merendah - terutama di bulan puasa ini. Tundukkan ego, agar tidak menyesal di kemudian hari. Semoga setelah Ramadan kali ini, kita menjadi pribadi yang lebih cerdas luar-dalam - bukan sekedar gelar. Amin ya rabbal áalamiin...
Seperti biasa, semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.
R.
(Jakarta, 14 Juli 2013)
"Logika lo dimana, sih? Otak lo ketinggalan?"
"Dasar goblok! Idiot!!"
Sering dengar ucapan-ucapan bernada kasar di atas? Dari orang-orang tersayang, mungkin? (Sayang sekali.)
Jika Anda merasa nggak nyaman membaca makian-makian di atas, bersyukurlah. Berarti Anda masih manusia yang punya hati (terlepas dari sosok-sosok 'sok jagoan' di luar sana yang mungkin akan menganggap Anda terlalu cengeng, lembek seperti tempe, dan kelewat sensi. "Payah, baru gitu aja udah tersinggung!" Halooo, siapa sih, yang senang dihina-hina - apalagi di muka umum pula?!)
Saya sadar, dulu saya bukan murid langganan ranking tinggi. Prestasi saya ibarat berat badan saya - sama-sama senang main yo-yo. (Hehe.) Kadang naik, kadang turun. (Andai saja tidak kebalik - yang prestasi naik terus, berat badan kalo bisa turun terus.) Belum lagi harus minta bantuan tutor sepulang sekolah. Jujur, saat itu saya sempat merasa 'bodoh'. Apalagi banyak ucapan bernada kecewa ditujukan pada saya, seperti: "Kalo orang lain bisa, kenapa kamu enggak?"
Hal itu diperparah sistem pendidikan di Indonesia. Kayak sistem pembagian IPA dan IPS, serta 'pendewaan' jurusan IPA oleh sejuta umat. Ortu lebih bangga bila anak mereka lulusan IPA. (Kayaknya, hingga kini masih banyak juga ortu yang bercita-cita punya anak dokter.)
Nggak hanya itu. Seseorang baru dianggap cerdas kalo tahu banyak hal, alias mampu mengingat banyak fakta. (Baca = menghapal.) Selain itu, pasti langsung dituduh kurang atau nggak pernah baca...atau dianggap kurang atau nggak cerdas. Sesederhana itu. Yang berpikir kritis malah masih dianggap pembangkang yang nggak tahu aturan atau sopan-santun.
Saking 'silau'-nya sama gelar dan IQ ("Wah, dia punya dua gelar S1!" atau "IQ-nya ada 180!"), banyak yang suka lupa bahwa - sama seperti rezeki dan jodoh - kecerdasan pun berkah dari Allah. Bukannya nakutin, tapi berhak lagi-lagi bisa diambil kembali bila yang diberi menjadi sombong dan lupa daratan. (Apalagi bila disumpahi sama yang sakit hati.) Apa gunanya bila cerdas tapi nggak bisa jaga perasaan orang? Apa gunanya gelar bila hanya dipamerkan? Bukankah pada dasarnya manusia saling membutuhkan? Ngapain malah saling merendahkan?
Mungkin orang-orang yang hobi memaki-maki Anda merasa lebih cerdas dan berhak mencari pembenaran atas perbuatan mereka yang menyakiti hati Anda. Entah karena kehabisan kesabaran, kurang bijak, lelah, hingga ego belaka. Apa pun alasannya, mereka suka lupa bahwa ucapan mereka hanya akan mengundang rasa benci, bukan simpati. Selain itu, sebenarnya mereka juga pencinta standar ganda: mereka sendiri juga nggak suka dimaki-maki.
Terlepas dari siapa yang benar dan salah, mengapa harus berdialog dengan makian? Bukankah masih banyak cara lain yang lebih elegan? Hayo, ngakunya cerdas??
Lagi-lagi, kita rajin diingatkan (agar bisa saling mengingatkan) untuk belajar merendah - terutama di bulan puasa ini. Tundukkan ego, agar tidak menyesal di kemudian hari. Semoga setelah Ramadan kali ini, kita menjadi pribadi yang lebih cerdas luar-dalam - bukan sekedar gelar. Amin ya rabbal áalamiin...
Seperti biasa, semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.
R.
(Jakarta, 14 Juli 2013)
Senin, 08 Juli 2013
"PUASA ANTI GARING"
Puasa sebentar lagi. Hayo,
udah pada siap, belum?
Mungkin topik ini udah
berulangkali dibahas hingga bosan. Yah, manusia juga cenderung pelupa, jadi
nggak ada salahnya saling mengingatkan lagi – bahkan untuk hal yang sama.
Banyak cara produktif untuk
menjalani bulan puasa. Insya Allah,
semoga beberapa cara di bawah ini termasuk anti garing. Amin!
1.Banyak
beribadah.
Kalo bisa lebih banyak dari
bulan-bulan lainnya, hehe. Nasihat klise, memang, terutama buat saya yang asli ‘hancur’. Kapan lagikah kita akan
beruntung dipertemukan dengan Ramadan?
Semoga lagi, lagi, dan lagi – hingga akhir hayat. Amin!
2.Lebih
giat berdoa.
Lemes sih, tapi masih lebih
baik daripada bengong. Selain bikin tambah lemes, bengong pun berpotensi
membatalkan puasa – terutama bila berujung memikirkan yang ‘aneh-aneh’. Hiih!
3.’Melahap’
bacaan.
Buat kamu yang doyan baca
tapi akhir-akhir ini tidak sempat (atau mungkin lebih memilih melakukan yang
lain), ini saatnya ‘melahap’ bacaan
lebih banyak dari biasanya. Daripada bengong mikirin lapar dan haus, lebih baik
menambah ilmu.
4.Ajang
kreatifitas.
Buat para penulis atau yang
hobi gambar dan desain, ini saatnya berkarya. Kalo ada waktu luang, daftarkan
dirimu ke workshop kreatif sesuai
minatmu – atau cek lomba-lomba yang ada di dunia maya. Siapa tahu, setelah
bulan puasa kali ini, makin banyak penulis, desainer, dan seniman canggih
Indonesia bermunculan!
5.Jaga
kesehatan.
Mau olah raga di bulan
puasa? Boleh. Justru malah disarankan (selain menjaga pola makan dengan baik
dan benar agar puasa lancar!) Seorang teman yang sudah terbiasa menyarankan
agar kita berolah raga sekitar satu jam sebelum waktu berbuka. (Biar habis itu
langsung minum.)
Mau olah raga pagi? Boleh.
Kecuali kita terbiasa seperti Zine Zidane, tidak disarankan untuk berolah raga
kelewat ‘heboh’. (Terutama yang
sedang kelebihan berat badan seperti saya, hahaha!)
6.Jaga
jarak dengan orang-orang bermulut dan berkelakuan ‘garing’.
Nggak perlu memusuhi,
apalagi sampai menyumpahi. Doakan mereka agar segera sadar dan berubah ke arah
yang lebih baik. (Kalo belum, itu urusan pribadi mereka sama Yang Di Atas – dan
maksud saya bukan pilot yang lagi lewat di angkasa dengan pesawatnya!) Mereka
yang bermulut dan berkelakuan ‘garing’
mungkin hanya cari perhatian, butuh pengakuan, hingga lupa atau malah tidak
pernah diajari tata-krama dan sopan-santun sama orang tua. Kasihanilah mereka
yang pikirannya belum – atau sulit – terbuka, terutama karena mereka menolak
untuk mencoba.
Mungkin ada tambahan lain?
Selamat menjalankan ibadah puasa.
R.
(Jakarta, 5 Juli 2013)
Selasa, 02 Juli 2013
"TIGA SATU DAN (MASIH) LAJANG - TERUS??"
Saya tidak anti pernikahan.
Saya juga tidak sedang dalam penyangkalan akut atau sok tidak butuh laki-laki.
(Nggak mungkinlah. Manusia pada dasarnya egois, sekaligus saling membutuhkan.
Dasar mahluk kontradiktif – alias cenderung labil nan galau!)
Jujur, lebih dari sekali
saya tergoda untuk menulis status macam ini di media sosial:
“Kenapa
ya, sepertinya hanya di Indonesia para lajang dibikin merasa minder dan
insecure tiap kali datang ke kawinan?”
Hehe, itu memang sindiran.
Setelah melewati masa-masa cukup ‘rentan’
(usia 25 – 30), entah kenapa saya malah mulai merasa lebih santai. Mungkin
banyak yang menyangka saya gila, tapi saya sudah tidak mau begitu peduli lagi –
apalagi sampai harus pusing / dipusingkan. Kenapa?
Mungkin karena saya sudah
ikhlas menerima sisi realita yang satu ini – dan hanya mencoba berbahagia. Itu
saja. Sebenarnya mudah, andai saja tidak sering direcoki lingkungan sekitar
yang hobi membuat seseorang merasa ‘kurang’.
Mewakili para perempuan
lajang (terutama yang usia 30+) yang sering ‘diusik-usik’
akan status kelajangan kami, kadang saya merasa agak terganggu. Apa salah kami?
Percaya deh, tidak ada niat saya untuk tetap sendiri di umur segini. Kalau pun
ada yang memutuskan untuk tetap melajang, kenapa malah Anda yang harus ribut?
‘Kan pilihan pribadi. Hak asasi!
“Ya,
tapi ini ‘kan Indonesia!”
Ya, ya, ya. Lagi-lagi
argumen yang sama. Sulit sekali menjadi diri sendiri di negeri ini, meski
(katanya) menganut asas demokrasi. Hihihi.
Saya bukannya sinis sama
orang yang menikah, mau menikah, atau bahkan ide pernikahan itu sendiri.
Serius. Kalau mereka yang memilih demikian dan bisa berbahagia karenanya,
kenapa tidak?
Kalau suatu saat giliran
saya (akhirnya) tiba, kenapa tidak?
Yang mengganggu adalah saat
mereka menjadikan pernikahan sebagai ‘ajang
kompetisi’ – sadar tidak sadar. Buru-buru menikah agar segera ganti ‘status’, supaya bisa dibanggakan.
Buru-buru menikah untuk membalap umur, agar sesuai patokan lingkungan sosial.
(Kalau tidak, siap-siap saja dicap ‘bujang
lapuk’ / ‘perawan tua’!) Buru-buru menikah supaya nggak ketinggalan sama
teman-teman atau saudara yang sudah. Buru-buru cari pacar untuk segera menikah,
agar tidak dituduh ‘melanggar kodrat’.(???)
Bahkan ada yang sampai diam saja dan merasa ‘down’
saat beragam komentar ‘miring’ menyerang,
menyamakan orang dengan barang dagangan. (“Belum
laku?”)
“Ya,
wajarlah kalo gitu. Biar makin termotivasi untuk segera menikah!”
Nah, lho!
Sebenarnya, sesuatu dianggap
wajar bila ‘dikondisikan’ demikian
dan diaminkan sejuta umat. Sama wajarnya dengan perbedaan.
Setiap orang punya alasan
tersendiri untuk menikah. Yang pasti, saya enggan melakukannya untuk alasan
yang (menurut saya, lho) salah. ‘Kan niatnya untuk sekali seumur hidup!
Menikahlah untuk tujuan
mulia menurut versi Anda masing-masing, tapi tolong. Tak perlu ‘mengusik-usik’ si lajang; cukup doakan
agar segera menyusul dan berbahagia. Tak perlu berkomentar ‘merendahkan’ hanya karena mereka belum dapat giliran. Jangan
kotori ibadah suci dengan menciptakan sifat iri dan dengki di hati mereka.
Nggak mau ‘kan, kalau sampai didoakan yang ‘tidak-tidak’?
(Bukannya berniat ngancam, lho!)
R.
(Jakarta, 30/6/2013)
Langganan:
Postingan (Atom)