Kamu tak pernah tahu
ada teduh di matamu
dan sejuk di senyum itu.
Rasa ini begitu rancu.
Tahukah kamu?
Cukup lama aku tak lagi tergugu.
Hadirmu pengusir pilu
yang semakin jarang mengganggu.
Ah, haruskah kuberitahu?
Rasa takut membuatku beku.
Kaburlah kata-kata indah itu,
meninggalkanku membatu.
Ini bukan rindu.
Aku masih bisa melihatmu selalu.
Tiada definisi yang membantu.
Mungkin, aku sendiri juga enggan mencari tahu...
R.
(Jakarta, 5 Februari 2014)
Kamis, 27 Februari 2014
Minggu, 16 Februari 2014
"REALITA DI BALIK AUDISI MENYANYI"
“Anda
gemar menyanyi? Merasa berbakat? Ingin jadi bintang tenar berikutnya? Daftar
segera di...”
Mungkin
iklan di atas familiar. Kita melihatnya di beragam media, entah TV, koran,
majalah, internet, hingga situs media sosial. Tertarik? Percayalah, Anda bukan
satu-satunya.
Motivasi? Beragam. Mulai dari
sekedar iseng hingga ambisi. Mulai dari yang asli berbakat hingga sekedar jual
tampang dan aji mumpung (tanpa bermaksud terdengar SINIS.) Yang modal nekat?
Banyak. Bahkan mereka tak kapok audisi berkali-kali, meski gagal pula sekian
kali dan kerap jadi bahan lelucon para juri dan tertawaan pemirsa TV di rumah.
Malu jadi urutan kesekian. Yang penting usaha hingga ngetop dulu, kalau bisa
sampai dapat uang banyak. Kalau bisa sih, tanpa harus susah-payah kerja tiap
hari. Siapa sih, yang tidak ingin?
Seperti biasa, ada yang berhasil dan
gagal. Itulah hidup. Yang berhasil menang di kontes itu juga belum tentu bisa
bertahan lama. Kebanyakan tidak siap dengan realita dunia hiburan setelah lolos
audisi. Oke, mungkin mereka berhasil dikontrak produser rekaman – barang satu
album atau dua. Hari gini, persaingan makin tidak kira-kira. Belum lagi
pembajakan yang makin liar, suka-suka. (Sampai-sampai toko kaset/CD terbesar di
ibukota yang sudah lama beroperasi akhirnya menyerah kalah dan tutup juga!
Hiks.)
Salah-salah mereka ibarat supernova.
Meledak sesaat, kemudian entah kemana. Lenyap begitu saja dari ingatan dunia.
Kata siapa mendapat uang banyak itu
gampang? Kata siapa semua tinggal lewat nyanyi? Banyak kerja keras tanpa henti
di belakangnya. Tak jarang musisi harus merelakan jatah tidurnya untuk latihan,
berkarya dengan resiko ‘dicurangi’ –
entah dari manajemen sendiri hingga para pembajak di luar sana, hingga idealisme
yang – siap tak siap – kerap terjagal kemauan pasar. (Habis bagaimana? Biar
laku!)
Belum lagi publik yang tidak selalu
pengertian bahwa musisi juga manusia biasa, alias tidak sempurna. Bisa juga
capek dan bete, sementara penggemar minta perhatian istimewa – kalau bisa
selalu dan selamanya! (Idih, lebay.) Ogah
privasinya terganggu, sementara publik haus gosip makin kepo/usil. Dicela-cela
sama yang sirik dengan kepopuleran mereka. Dihujat sejuta umat saat melakukan
kesalahan, padahal jelas-jelas mereka bukan malaikat – apalagi dewa. Mereka
bahkan sering lelah karena harus mengorbankan waktu libur jauh dari keluarga
hingga orang-orang tercinta hanya untuk bekerja, bikin album dan tur.
“Ya,
itu sudah bagian dari konsekuensi pekerjaan mereka!”
Mungkin
Anda bisa berkata demikian dengan mudahnya. Pernah mencoba? Benarkah Anda
menginginkannya? Yakin siap berkorban?
Sementara itu, yang tidak lolos
audisi terbagi menjadi tiga kategori:
1) Yang
menyerah dan memutuskan untuk kembali ke dunia nyata, hidup dan bekerja seperti
orang-orang lain pada umumnya.
2) Yang
masih rajin mencoba, meski tak lagi ngotot bin ngoyo. Biasanya mereka sudah
punya pekerjaan yang cukup menjamin hidup mereka dan masih ingat untuk
bersyukur. Sekedar iseng-iseng, siapa tahu berhadiah. Begitulah motto mereka
setiap kali kembali mencoba audisi.
3) Pelanggan
setia audisi. Tipe ini begitu mengikuti kata hati, karena terdorong ambisi yang
tak mudah mati. Tak peduli kata dunia, mereka akan terus mencoba audisi. Gigih
atau keras kepala? Entahlah. Yang pasti, banyak dari mereka yang rela melakukan
segalanya. Di benak mereka biasanya sudah terbayang-bayang jumlah uang yang
akan diterima nantinya, beserta ketenaran. Ya, bahkan sebelum mereka memulai
apa-apa.
Tiap
tahun selalu sama. Sosok-sosok yang lelah dan muak akan kemiskinan mencoba
peruntungan. Sosok-sosok lain yang juga lelah (atau mungkin malas?) bekerja
keras, berharap akan keajaiban a la kisah Cinderella. Tidak semuanya siap
mental saat menghadapi beragam kemungkinan. Mulai dari ditolak halus, disindir
sampai air mata membanjir, hingga diusir satpam akibat ngotot. Mulai dari
sekedar berharap akan ‘setidaknya
dianggap’ (akibat hari-hari biasa mungkin sering disepelekan hingga dendam
dan sakit hati) hingga yang lupa harga diri karena mengiba-iba pada para juri
di depan kamera, ditonton seluruh dunia. Belum lagi yang tidak siap saat
kelakuan para juri (yang mungkin sudah bosan dan ‘mati rasa’ karena harus mengaudisi puluhan ribu peserta – nyaris
tanpa henti) yang pastinya bikin sakit hati. Bisa saja Anda baru menyanyikan
dua bait lagu, ketika musik tiba-tiba dimatikan dan suara dingin si juri
menyahut:
“Terima kasih.
Berikutnya!”
Tak
peduli Anda sungguhan berbakat atau tidak, tetap saja contoh di atas bisa
terjadi.
Tentu
saja, semua demi ketenaran dan uang banyak. Siapa sih, yang tidak ingin
diperhatikan dan kaya-raya?
Masalahnya,
siapkah Anda? Mau berkorban sejauh apa?
R.
(Jakarta,
6 Februari 2014 – 00:20 am)
(Penulis pernah tiga
kali ditolak “Indonesian Idol”,
disuruh turun panggung setelah hanya sempat menyanyi dua bait “Karma” – nya Cokelat oleh juri “The Dream
Band” yang waktu itu juga seorang penyanyi. Gagal audisi “Inul Vista’s International Karaoke
Competition” gara-gara radang tenggorokan akut dan terpaksa mundur dari “Indonesia’s
Got Talent” karena harus bedah gigi.)
"KEMBALILAH!"
Kembalilah
ke dunia nyata.
Sayang,
hidup terlalu berharga.
Saatnya
bangun dan berjalan.
Tiada
pilihan selain melangkah ke depan.
Kembalilah
ke dunia nyata.
Sayang,
sudah cukup waktumu berduka.
Terlalu
lama membahayakan.
Jangan
sampai kewarasan jadi korban!
Kembalilah
ke dunia nyata.
Sayang,
tidak apa-apa.
Pada
akhirnya, semua akan jadi kenangan.
Tiada
yang abadi, hanya dalam ingatan.
Saatnya
kembali.
Sayang,
jangan bersedih lagi.
Jalani
saja hidup fana ini
hingga
saatnya nanti...
R.
(Jakarta,
4 Februari 2014)
Kamis, 13 Februari 2014
"CARAKU MENCINTAIMU"
Aku ingin di sana
saat kau tiba
menyambut yang tercinta
sebelum bersama selamanya.
Mungkin ini terdengar gila.
Bagi mereka, aku munafik luar biasa.
Tapi aku ingin mata ini terbuka
melihatmu tersenyum bahagia.
Akankah kubisa tersenyum jua?
Demi kamu, akan kucoba.
Tidak mudah, namun aku enggan menyerah.
Aku yakin aku bukan sosok yang kalah.
Mungkin ini aneh tapi nyata.
Akulah anomali di luar sana.
Kamu tak pernah salah,
karena kamu berhak bahagia
dan aku akan baik-baik saja.
R.
(Jakarta, 2 Februari 2014)
saat kau tiba
menyambut yang tercinta
sebelum bersama selamanya.
Mungkin ini terdengar gila.
Bagi mereka, aku munafik luar biasa.
Tapi aku ingin mata ini terbuka
melihatmu tersenyum bahagia.
Akankah kubisa tersenyum jua?
Demi kamu, akan kucoba.
Tidak mudah, namun aku enggan menyerah.
Aku yakin aku bukan sosok yang kalah.
Mungkin ini aneh tapi nyata.
Akulah anomali di luar sana.
Kamu tak pernah salah,
karena kamu berhak bahagia
dan aku akan baik-baik saja.
R.
(Jakarta, 2 Februari 2014)
Kamis, 06 Februari 2014
"APA YANG ADA DI BENAK RUBY?"
Jawabannya: BANYAK! Terlalu banyak, sampai kadang suka menjengkelkan - sekaligus menakutkan - orang sekitar. Terlalu kritis, kata mereka yang sebenarnya malas atau enggan berpikir.
Bahkan, kadang rambut kriwilnya suka jadi tudingan. Gara-gara kebanyakan mikir, terutama yang ruwet-ruwet. Padahal, berpikir 'kan, proses otomatis seumur hidup. Masa mau berhenti?
Mungkin karena itulah dia menulis di sini. Lebih baik dan tidak berisik, ketimbang ngomel-ngomel nggak karuan, seperti orang kebanyakan...
R.
(Jakarta, 6 Februari 2014 - 00: 20 m)
Bahkan, kadang rambut kriwilnya suka jadi tudingan. Gara-gara kebanyakan mikir, terutama yang ruwet-ruwet. Padahal, berpikir 'kan, proses otomatis seumur hidup. Masa mau berhenti?
Mungkin karena itulah dia menulis di sini. Lebih baik dan tidak berisik, ketimbang ngomel-ngomel nggak karuan, seperti orang kebanyakan...
R.
(Jakarta, 6 Februari 2014 - 00: 20 m)
Senin, 03 Februari 2014
"CARA MENGHADAPI 'VERBAL BULLYING' "
Tidak
seperti ‘online bullying’ yang ada
jejak tertulis maupun ‘physical bullying’
berupa luka-luka di tubuh, ‘verbal
bullying’ lebih ‘halus’ alias
sulit terlacak. Ibarat kentut yang dilepas di udara, yang baunya hanya bisa
tercium dan teringat oleh korbannya. Bayangkan bila itu terjadi berkali-kali.
Ajaib bila korban tidak muntah! (Hehe, kurang-lebih begitu, menurut analogi ‘ajaib’ saya.)
Karena itulah, bullying tipe ini termasuk ‘diam-diam
mematikan’. Kita sudah (terlalu) sering mendengar kasus bunuh diri akibat ‘verbal-bullying’. Atau korban ledekan
dan hinaan yang berakhir di sanatorium / RSJ (rumah sakit jiwa). Atau sosok
baik-baik nan pendiam yang tiba-tiba menjadi brutal dan membunuh orang. Atau
tranformasi seseorang dari korban menjadi bully
itu sendiri, bahkan bisa lebih kejam dari pelaku sebelumnya. Lingkaran
setan tak berkesudahan.
Dalam buku “Words Can Change Your Brain” karya Andrew Newberg, dijelaskan bahwa sebuah kata memiliki
kekuatan besar untuk mempengaruhi gen yang mengatur rasa bahagia dan stres. Tak
hanya berdampak pada orang lain, tapi juga mempengaruhi fungsi otak kita.
Karena itulah, bahasa yang mengandung perseteruan dan celaan dapat melepas
puluhan hormon stres yang mengganggu fungsi otak. Lama-lama orang akan
terdorong untuk bersikap penuh curiga dan ragu-ragu, baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain.
Ujung-ujungnya? Ya, seperti
contoh-contoh yang sudah disebut di atas. Depresi karena merasa dunia muram dan
tidak ramah.
Pernah di-bully atau MALAH mem-bully?
Semoga cara-cara di bawah ini dapat membantu kita semua, demi kebaikan bersama
dan lingkungan yang lebih ramah:
1.Bersyukurlah!
Setiap manusia berbeda. Jika kita
memang bahagia dengan hidup kita, perlukah menyakiti orang lain dengan
kata-kata kasar? Perlukah mudah tersinggung dengan kata-kata kasar orang lain,
terutama saat kita tahu bahwa mereka sebenarnya hanya menunjukkan betapa tidak
bahagianya mereka dengan hidup mereka sendiri?
2.Anda seorang bully?
Seperti biasa, langkah awal
menangani masalah harus selalu dari diri sendiri. Tidak mudah, tapi bukan
berarti mustahil. Bisa saja asal ada usaha dan memang mau mencoba.
Mungkin kita mantan korban yang
terlalu lama memendam dendam dan sakit hati. Mungkin juga kita (terlalu)
terbiasa dengan segala puja-puji, hingga sedikit saja kritik (meski niatnya
mungkin baik) malah bikin kita sensitif dan lantas menganggapnya sebagai
serangan pribadi. Atau mungkin kita sudah merasa memiliki segalanya, hingga
merasa bebas semena-mena terhadap orang lain?
Apa pun alasannya, manusia selalu
punya pilihan. Mungkin kita berubah menjadi ‘bully’
karena termakan istilah a la Darwin: “survival
of the fittest” (yang kuat yang
bertahan). Alasannya bisa membela diri atau melindungi harga diri. (Whatever.) Atau mungkin kita hanya
sedang tidak bahagia atau bosan dengan hidup, tapi tidak tahu cara menangani
perasaan itu dengan lebih positif dan ‘tidak
makan korban’.
Pertanyaan berikutnya: mau sampai
kapan kita jadi ‘bully’? Sampai kita
berakhir sendiri? Sampai kita terus dijauhi hingga tak tersisa seorang teman
pun lagi?
Sampai kita akhirnya tersadar bahwa
kita telah berubah menjadi sosok yang dulu kita benci (si bully yang menyakiti) atau malah lebih parah lagi? Sampai salah
satu korban kita akhirnya tak tahan lagi dan – alih-alih bunuh diri – malah
berusaha melenyapkan kita dari bumi? (Hiii!)
Seperti biasa, silakan pikir
sendiri.
3.Anda korban ‘verbal bully’ (atau
setidaknya merasa)?
Tak ada manusia sempurna. Pada
dasarnya, kita hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik sesuai kemampuan
kita. Tak ada yang berhak menuntut kita menjadi ‘sempurna versi mereka’ – bahkan saat mereka sok memakai
embel-embel “demi kebaikan kamu”.
Mereka juga tak berhak mencela kita, apa pun kekurangan kita. Memangnya mereka
siapa, sih? Sama-sama manusia biasa, toh.
Selama kita hidup dengan kepercayaan
diri, kita tidak akan punya mentalitas seorang ‘korban’. Ibarat anjing menggonggong, khafilah berlalu (dengan earphone di kuping bila perlu!) Untuk
apa mendengarkan polusi suara kalau kita bisa memilih yang lebih masuk akal dan
menenangkan jiwa – atau yang sunyi sekalian?
Bagaimana bila anjing menggonggong
makin mengganggu, misalnya sampai taraf membuntuti dan merecoki kuping kita?
Jangan main timpuk dulu dengan batu, bila kita belum siap melawan atau digigit.
Meski merasa amat terganggu akibat si anjing berisik yang berusaha keras
menarik perhatian kita, ada baiknya kita tetap berusaha kalem.
Begitu pula dengan menghadapi pelaku
‘verbal-bullying’.
Jika
ucapan mereka terdengar ‘tidak masuk
akal’ (alias hanya ingin menjatuhkan mental kita tanpa alasan jelas), cukup
anggap mereka angin lalu. Kasihanilah mereka yang begitu ‘haus’ akan perhatian kita. Mungkin kita segitu hebatnya di mata
mereka, hingga mereka minder dan iri.
Kalau kita sudah tidak tahan lagi,
kita bisa melawan dengan cara anggun. Tak perlu membalas dengan kata makian,
apalagi sampai berlanjut ke arah kekerasan fisik. (Kesal itu wajar sih, tapi
yakin – kita mau ikut-ikutan mereka atau malah lebih parah? Masalah tidak akan
selesai, dong! Apa bedanya kita sama mereka?)
Pertama, tarik napas dalam-dalam dan
usahakan agar tidak sampai ikut terbawa emosi. (Untuk apa? Penting amat!)
Biarkan mereka terus mencela dengan segala omong-kosong mereka. Masuk kuping
kanan, keluar kuping kiri. Jangan sampai ada yang tertinggal di otak, apalagi
tersangkut di hati. Nanti kita sendiri yang rugi.
Jangan lupa pasang wajah tanpa
ekspresi. (Tak perlu tunjukkan pada mereka kalau kita sebenarnya sudah keki
setengah-mati atau bahkan sakit hati.) Boleh saja bila kita ingin tersenyum
geli. Biarkan mereka memandang kita yang bereaksi di luar harapan mereka.
Biasanya mereka akan ‘salting’ (salah-tingkah)
sendiri dan otomatis ocehan mereka terhenti.
“Sudah
selesai?” Kita bisa bertanya begitu pada mereka, dengan nada setenang
mungkin. Jika mereka menjawab ya, kita bisa:
1.) Menyindir
dengan ucapan seperti: “Oke, sekarang
saya mau mengerjakan sesuatu yang (lebih) penting” lalu ngeloyor pergi.
2.) Cukup
berbalik dan pergi, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Cukup bikin mereka tengsin
sendiri, karena omongan mereka kita anggap sepi. Hihihi...
R.
(Jakarta,
28 Januari 2014, 8:32 am)
"SELALU ADA BAHAGIA"
Selalu
ada bahagia
di
balik yang tak tampak.
Meski
samar awalnya,
bisa
jadi milikmu kelak.
Selalu
ada bahagia
selama
ada usaha dan doa.
Dunia
tak hanya berisi duka.
Kau
belum kehilangan segalanya.
Selalu
ada bahagia.
Kenapa
terus bermuram-durja?
Bukan
kami yang salah,
jika
di matamu hidup hanya soal menang dan kalah.
Selalu,
selalu ada bahagia.
Hanya
dari-Nya cinta sejati nyata.
Sayang,
sering kau abai mengenali
hingga
kerap tenggelam mengasihani diri...
R.
(Jakarta,
1 Februari 2014)
Sabtu, 01 Februari 2014
"RISET NAMA KARAKTER BAGI PENULIS"
Mungkin ini terdengar sepele, tapi
tetap bisa menyesatkan bila tidak hati-hati. Tak hanya orang tua yang
mencarikan nama untuk bayi, penulis juga wajib melakukan riset sebelum
memutuskan nama yang cocok bagi karakter dalam ceritanya.
Mengapa? Bayangkan kalian membaca
identitas nama seseorang dan mengira-ngira, lalu kecele saat bertemu sosok si
pemilik nama. Dikira cowok, tahunya cewek (atau sebaliknya.) Saya kerap ‘tertipu’ akan identitas karakter dalam
cerita akibat salah paham tersebut.
Tidak familiar dengan nama asing?
Bukan alasan. ‘Kan masih bisa tanya-tanya orang. Apalagi bila penulis familiar
dengan penggunaan internet. Tinggal Google,
ketemu. (Ya, meski tak semua informasi di internet harus kita telan ‘bulat-bulat’, alias main percaya begitu
saja.)
Contoh kasus: novel “Being 20-Something Is Hard” karya Dewi
Pravitasari. (Mohon maaf, Mbak Dewi. Semoga kritik ini mencerahkan, bukan
terasa bagai serangan pribadi.) Ada salah satu tokoh bernama Denise. Lebih dari
separuh perjalanan cerita, saya baru ngeh kalau ternyata Denise
itu...laki-laki. Oalaa, mungkin maksudnya ‘Denis’,
‘Dennis’ (seperti nama teman kuliah saya), atau ‘Deniz’ (seperti nama teman kantor saya yang berayahkan orang
Turki.)
Masih ada lagi. Saya pernah
menemukan dua cerpen dengan kasus serupa (maaf, baik judul maupun pengarang
saya lupa). Meski ceritanya bagus, ada kesamaan yang menurut saya agak ‘mengganggu’.
Di
cerpen pertama ada tokoh bernama Abigail. Saya temukan arti namanya di Wikipedia: istri Nabal menurut Alkitab Perjanjian
Lama. Beliau seorang perempuan cantik dan cerdik. Bila penulis lupa atau enggan
riset, bisa dikira-kira dari penggunaan nama itu sehari-hari. (Contoh: salah
satu aktris di film “My Sister’s Keeper” yang
adaptasi dari novel karya Jodi Picoult bernama Abigail Breslin.)
Dalam cerpen pertama, Abigail
ternyata diceritakan sebagai laki-laki egois yang hobi memperbudak kekasihnya
untuk melayani dan mengikuti semua maunya.
Di cerpen kedua ada tokoh bernama
Leah. Menurut situs www.namafb.com ,
Leah berarti ‘gembira ria’ dalam
bahasa Ibrani. Dalam penggunaan sehari-hari bisa bervariasi, mulai dari ‘Leah’, ‘Lea’, hingga ‘Leia’. (Seperti tokoh Princess
Leia dalam serial “Star Wars”dan
aktris/penyanyi Lea Michelle dalam serial TV “Glee”.)
Lagi-lagi, Leah dalam cerpen kedua
laki-laki egois yang memaksa kekasihnya untuk memilih antara dia atau menulis.
Boleh jadi penulis beranggapan bahwa
pembaca takkan segitu peduli atau kritisnya. Hanya perkara nama, toh? Ngapain
terlalu diambil pusing? Meski yang ditulis fiksi, masih ada kok, pembaca
kritis. Seperti kata managing editor majalah
“Story”, Bunda Reni Erina, dalam writing workshop Oktober tahun lalu di
Anyer, logika dan keakuratan juga penting. Jangan sampai hanya karena nama itu
terdengar bagus dan yang ditulis hanya cerita fiksi, penulis jadi abai dengan
tanggung-jawab memperkenalkan sesuatu yang benar kepada pembaca.
R.
(Jakarta,
1 Februari 2014, 7:40 pm)
"SEJATINYA CINTA"
Kalian
lama bersama,
hingga
saling berkaca.
Dua
benak ibarat kembar,
saling
terbaca:
sejatinya cinta!
Ya,
sejatinya cinta,
meski
tak sempurna adanya.
Kadang
‘si kembar’ beda selera,
tak
selalu sepaham.
Untunglah
keduanya dewasa.
Ya,
dewasalah keduanya.
Saat
ego tak lagi selalu berjaya,
bersyukurlah
akan adanya cinta.
Selisih
tak jadi akhir semua.
Semoga
bahagia selamanya!
R.
(Jakarta,
27 Januari 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)