Senin, 26 Januari 2015

"YANG KEDUA"



“Tak ada yang salah dengan menjadi yang kedua.”
            Benarkah? Aku sangsi. Entah kenapa aku merasa takdirku seakan selalu menempatkanku menjadi yang kedua. Contohnya saja, aku anak kedua di keluarga. Tidak apa-apa sebenarnya, asal aku tidak selalu dibanding-bandingkan dengan kakakku yang sepertinya punya ‘segalanya’. Wajah cantik (menurut laki-laki yang mengaguminya, terutama), tinggi langsing, otak cerdas, karir lancar, hingga kehidupan asmara yang selalu ramai. Setiap rentang hidupnya selalu ada mantan.
            Aku sendiri? Jangan ditanya. Wajah biasa, postur pendek gempal, otak yang lumayan cerdas namun tidak seperti dia, karir oke, hingga kehidupan asmaraku yang nyaris...tidak ada.
            Jujur, kadang rasanya sepi. Apalagi saat kakakku seperti menyita perhatian semua orang. Saat aku juga butuh perhatian mereka, semua sudah kelelahan. Aku tidak dapat apa-apa, hingga akhirnya harus berjuang sendirian.
            “Untuk apa kamu bersedih?” tanyamu waktu itu. “Menjadi yang pertama tak selalu enak. Mereka tak selalu jawara. Ada kalanya mereka lelah dan muak dengan beragam tuntutan yang ada, seperti tiada habisnya.”
            “Benarkah?”
            “Tentu saja,” katamu lagi. “Bayangkan, kamu harus jadi panutan semua orang. Diharapkan agar tidak gagal dan tidak mudah menyerah. Harus selalu kuat.”
            “Tapi kamu selalu mendapatkan perhatian banyak orang,” debatku tak mau kalah. Mungkin hatiku yang sudah lama sakit akhirnya ikutan bicara. “Nggak ada yang positif dari istilah ‘the second best’.”
            “Kata siapa?” bantahmu, namun masih dengan senyum. “Kamu tahu apa yang terjadi bila usaha pertama gagal?”
            “Apa?”
            “Selalu ada kesempatan kedua. A second chance.”

            “Oh.” Dan hatiku pun menghangat. Sahabatku yang anak pertama dari keluarganya hanya tersenyum sambil mengelus kepalaku, seakan aku juga adiknya sendiri.

R.

(Jakarta, 27 Januari 2015)

Minggu, 04 Januari 2015

"BENCI"

Alangkah lelahnya benci
Pembunuh nomor satu damai di hati
Penyiksa terkejam akan diri
Sisi tergelap peduli

Wahai, benci
Kapan kau akan pergi?
Di sini aku bertarung dengan sisa energi
berharap tak perlu harus sampai membawamu mati...

R.


(Jakarta, 4 Januari 2015)