Senin, 20 April 2015

"CINTA...APA OBSESI?"

Cinta lama bersemi kembali
suatu saat di bulan ini
saat kau tahu dia akan kemari
meski sadar kau tak lagi sendiri
Akankah kau mengejarnya lagi?

Sudikah kau menciptakan drama yang sama,
meski bosan dan muak terbaca di wajah mereka?
Dia, dia, dia...dan sekali lagi dia.
Belum kapok juga rupanya!

Cinta itu tak hanya bersemi kembali,
namun tak pernah benar-benar mati
Siapkah kau kembali patah hati?
Kau bahkan tak tahu beda cinta dengan obsesi.

R.

(Jakarta, 10 April 2015)

"SAAT KISAH-KISAH MENYEBAR DENGAN CEPAT..."

Saya masih ingat dongeng yang menjadi latar plot / ilustrasi cerita dalam novel thriller berjudul “You Belong To Me” karya Mary Higgins Clark:
            Alkisah, dahulu hiduplah seorang tukang gosip. Hobinya menyebarkan berita – tanpa dicek dulu kebenarannya alias kemungkinan besar bohong – membuat masyarakat gerah. Bagaimana tidak? Sudah banyak yang jadi korban fitnah.
            Saat ditangkap dan diadili, si tukang gosip mendapatkan hukuman aneh dan merepotkan:
            Sebuah bantal dirobek di lapangan terbuka saat angin tengah bertiup kencang. Tentu saja bulu-bulu angsa yang menjadi isi bantal langsung beterbangan kemana-mana. Si tukang gosip harus mengumpulkan kembali semua bulu angsa yang sudah terpencar dan memasukkannya kembali ke dalam bantal yang sudah robek. Tentu saja ini bukan perkara mudah, sama sulitnya dengan harus mendatangi tiap orang untuk mengoreksi berita bohong yang sudah terlanjur tersebar.
            Terlepas dari benarkah si tukang gosip banyak menyebarkan cerita bohong atau tidak, dari zaman ke zaman – berita semakin menyebar cepat. Tergantung (ingatan atau...kepentingan?) pencerita dan pendengar, nasib kisah pun bisa berubah: menjadi lebih panjang atau malah makin pendek. Kalau sudah begini, mana yang benar, ya? Benar sebenar-benarnya, bukan sekedar yang (ingin) dipercayai orang.
            Lagi-lagi, seperti biasa, hanya Tuhan yang (Maha) Tahu.
            Terdengar familiar? Tentu saja. Entah kenapa, kebanyakan manusia – baik lelaki maupun perempuan – cenderung suka sama rumor, baik sebagai pendengar maupun penyebar. (Tidak perlu ribut soal gender di sini, karena pada kenyataannya – semua manusia sama saja. Tidak perlu mengaku atau membantah juga. Cukup kita berkaca pada diri masing-masing. Sekian.) Terutama di era social media. Tinggal sekali klik, selesai sudah. Gampang, ya? Enaknya, pilihan selalu ada di tangan Anda.
            Yang jadi masalah? Seperti biasa, hobi kita yang terburu-buru – bahkan kadang / kerap tanpa membaca dan menelaah terlebih dahulu, kalau bisa sedalam mungkin. Pokoknya hanya baca sebentar (meski kadang malah hanya sekilas baca judulnya), terus main sebar begitu saja. (Mungkin ada juga yang menyebutnya ‘sampah internet’.)
            Setelah itu? Reaksi orang beragam. Ada yang langsung mengiyakan atau membantah. Mungkin saja mereka langsung percaya karena alasan tertentu, misalnya: punya pengalaman serupa, ingin ikut menjatuhkan pihak tertentu, atau asal percaya karena – seperti biasa, lagi-lagi – malas berpikir. Ada juga yang tidak peduli, karena toh itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka.
            Berkat social media, lagi-lagi kita dapat memilih. Apa yang ingin kita baca, resapi, hingga percayai. Semua tergantung cara kita bernalar dan kesediaan kita meluangkan waktu sejenak untuk meresapi, sebelum memutuskan untuk meneruskannya – entah ke semua orang, beberapa kenalan saja, atau tidak sama sekali – alias disimpan sendiri. Tak perlu khawatir dibilang: “Ahh, berita itu sudah basi lima hari / jam / puluh menit yang lalu.” Memangnya Anda sedang berlomba? Tidak lelah? Memangnya kita semua sanggup menghabiskan semua makanan bila hujan makanan benar-benar terjadi, layaknya film “Cloudy and A Chance of Meatballs”? Apakah kita mau?
            Tidak perlu tahu semuanya kalau yang ada Anda malah stres karena isi kepala kebanyakan informasi (apalagi yang belum tentu Anda perlukan atau ada hubungannya dengan hidup Anda). Kadang hal itu malah jauh lebih menyehatkan mental!
            R.

            (Jakarta, 14 Maret 2015)

Rabu, 15 April 2015

“BLOGGING COMPETITION LAUNCH: INDONESIAN YOUTH INVOLVEMENT IN IMPLEMENTING THE POST-2015 DEVELOPMENT AGENDA"



(Ajakan untuk Kaum Muda untuk Lebih Peduli Masalah Bangsa Lewat Menulis Blog)
  
Apa itu “The Post-2015 Development Agenda”? Berawal dari delapan goal / tujuan yang dicanangkan United Nations dalam MDGs mereka, program tahunan ini kini berkembang menghasilkan 17 goal dan 169 target yang diusulkan oleh The Open Working Group on Sustainable Development Goals (OWG). Beberapa diantaranya termasuk mengentaskan kemiskinan dalam bentuk apa pun, mengakhiri kelaparan dan mengusahakan pengadaan bahan pangan dan makanan yang sehat dan terjamin, serta fasilitas kesehatan yang memadai.
            Berdasarkan data lapangan terakhir (“From MDGs to Post-2015”), Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dalam mengurangi tingkat kemiskinan, meningkatkan taraf pendidikan, meningkatkan kesetaraan gender, hingga mengurangi jumlah penderita  TBC. Sementara itu, beberapa tantangan yang masih harus dihadapi Indonesia berupa tingginya kematian ibu (terutama saat melahirkan), jaminan bahan pangan dan nutrisi makanan, hingga masalah HIV/AIDS.

            Mengapa fokus agenda ini lebih banyak kepada kesehatan? Menurut data statistik yang dibahas Dina, salah satu dalam seminar Millennium Development Goals (MDGs): “The Post-2015 Development Agenda” pada 15 April 2015, masalah kesehatan global mulai menguak lebih serius pada awal tahun 2000-an. Meskipun sekitar 180 negara ikut terlibat dalam MDGs – terutama Indonesia – masing-masing mempunyai indikator yang berbeda, yang tentu mempengaruhi prioritas goal dan target yang ingin mereka capai. Dalam hal ini, UN berperan sebagai pendukung atau fasilitator bagi negara untuk mencapai goal yang sudah disepakati. Meski demikian, pemerintah tiap negara yang bersangkutan tetap bertanggung-jawab melaksanakan pencapaian goal mereka di lapangan, misalnya: mendanai MDGs untuk khusus negara masing-masing dan mengirim laporan tahunan ke Sekretariat MDG di New York, setelah sebelumnya dipresentasikan kepada badan-badan UN lainnya yang terkait program tersebut.

Bagaimana cara kaum muda Indonesia berpartisipasi dalam usaha mencapai target yang terdapat dalam Millennium Development Goals (MDGs): “The Post-2015 Development Agenda”? Tak perlu berat-berat, terutama bagi mereka yang masih berstatus pelajar maupun mahasiswa. Pengusaha muda – atau yang masih merasa berjiwa muda – pun bisa ikutan.
            Salah satunya adalah dengan mengikuti Kompetisi Menulis Blog yang diadakan United Nations. (Info lebih lengkap dapat diakses di situs mereka: www.un.or.id .) Selain sebagai sarana berekspresi, para blogger juga dapat mengkampanyekan usul hingga usaha untuk membantu mencapai target tersebut – berdasarkan kapasitas mereka sebagai kaum muda. Deadline kompetisi menulis blog ini akan berakhir pada 13 Mei 2015. Peserta juga dapat membagikan entri blog mereka melalui jaringan media sosial.


Rabu, 08 April 2015

"SISI LAIN 'SI MUKA DUA'..."

Siapa sih, yang nggak sebal sama orang yang bermuka dua? Di depan kita mereka diam saja atau tersenyum manis, bahkan kadang mengiyakan semua ucapan kita. Giliran di belakang, mereka ‘menikam’ kita dengan menyebar kabar keburukan kita pada orang lain. Mengerikan sekali, bukan? Apalagi bila kita sudah sangat percaya sama mereka.
            Tapi, bagaimana dari sisi ‘si muka dua’ itu sendiri? Benarkah mereka selalu sejahat itu?
            Saya tidak sedang membela atau memaklumi orang yang hobi bermuka dua. Saya hanya sedang berusaha melihat sisi lain dalam sebuah situasi dan / atau kondisi. Dengan kata lain, ini hanyalah fakta yang jarang – atau mungkin nyaris tidak pernah – dibahas atau dianggap ada.
            Oke, memang ada orang yang bermuka dua gara-gara niat mereka yang kurang baik. Entah oportunis atau sengaja ingin menjebak atau menjatuhkan seseorang yang mereka anggap saingan atau benci. Namun, tak perlulah lagi kita bertanya-tanya siapa saja yang berpotensi menjadi manusia bermuka dua. Suka tidak suka, Anda pun bisa. (Seperti biasa, namanya juga manusia.) Never say never. Jangan sok yakin bahwa Anda tidak akan pernah begitu. (Semoga Anda juga tidak akan pernah kepikiran untuk berbuat demikian.) Manusia tidak pernah ada yang sempurna. Kita takkan pernah tahu kapan kita tiba-tiba ‘khilaf’.
            Pernahkah Anda meragukan senyum tulus teman yang berada di depan Anda? Mungkin Anda hanya berprasangka (dan diam-diam - biasanya itu membuat Anda merasa bersalah.) Mungkin juga insting Anda tengah berbicara, meski belum ada bukti nyata.
            Atau, pernahkah Anda tersenyum setengah hati pada seseorang di depan Anda? Mungkin Anda tidak sepakat dengan mereka, namun malas berdebat. Mungkin sebenarnya mereka begitu menjengkelkan bagi Anda, namun sayangnya Anda merasa tetap harus berbaik-baik dengan mereka. Alasannya bisa macam-macam, mulai dari: atas nama sopan-santun, takut, hingga malas ribut – terutama bila mereka tipe yang sulit atau enggan didebat, alias selalu merasa paling benar sendiri. (Baca: egois!) Sayangnya, tipe macam ini di Indonesia sangat lazim pada mereka yang lebih tua, berjabatan lebih tinggi, hingga punya uang banyak. (Nggak usah heran!) Biasanya mereka hanya akan menganggap ‘sepi’  pendapat Anda, terutama bila di mata mereka – Anda dianggap tidak selevel.
            Kalau sudah begitu, wajar saja bila Anda kesal. Namun, berhubung malas buang-buang waktu dan tenaga Anda yang sangat berharga hanya untuk berdebat dengan mereka, Anda memilih diam saja – memendam dongkol dalam hati. Kalau sudah tidak tahan lagi, biasanya yang Anda lakukan adalah membicarakan orang itu dengan orang lain. Yang lebih taktis mungkin yang memilih teman bicara yang tidak kenal dengan si objek gosip, dengan harapan bahwa mereka berdua takkan pernah bertemu – apalagi sampai berteman. Hiiih!
            Kalau enggan terlibat dalam drama yang tidak perlu, diam itu selalu emas. (Lain cerita kalau orang itu sudah mengancam posisi, kredibilitas, dan keselamatan nyawa Anda secara serius!) Tak ada gunanya juga Anda cerita-cerita ke semua orang, kecuali bila Anda punya bukti cukup sebagai peringatan agar mereka lebih waspada. Kalau sudah begitu, Anda justru akan makin tersiksa lahir-batin dan sulit sekali untuk benar-benar berbahagia dengan hidup Anda, apalagi bila masih perlu berpura-pura baik pada sosok yang bersangkutan. Meski Anda korban dan tak bersalah, tetap saja ‘jatuh’-nya sama: Anda juga bermuka dua.
            Dalam hidup, memang tak semua selalu menyenangkan, begitu pula sesama manusia. Menyebalkan memang saat Anda terpaksa harus menerima kenyataan pahit itu. Akan selalu ada orang yang selalu merasa paling benar sendiri dan menganggap Anda sama dengan anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Biar saja. Toh, setidaknya mereka sudah mengajarkan satu hal pada Anda:
            Mereka adalah contoh yang tidak perlu Anda ikuti bila tidak ingin. Gampang, ‘kan?
            Lalu, bagaimana bila situasinya dibalik? Anda sedih dan sakit hati saat tahu banyak yang diam-diam membicarakan keburukan Anda di belakang Anda. Benarkah niat mereka selalu hanya ingin ‘menjatuhkan’ Anda, entah karena iri atau benci? Bagaimana bila – ternyata – selama ini mereka telah berusaha jujur dan terbuka dengan Anda, namun Anda-nya yang tidak mau dengar, bersikap defensif, atau marah-marah? Lantas Anda menuduh mereka lancang, ikut campur urusan Anda, menghakimi Anda, atau enggan menerima Anda apa adanya. Benarkah selalu demikian?
            Bisa jadi, selama ini Anda yang tidak sadar dan tidak peka bahwa Anda sendiri penyebab ketimpangan relasi antara Anda dengan mereka. Anda mungkin terbiasa ceplas-ceplos, bermulut tajam atas nama ‘kejujuran’ dan selalu meminta mereka agar ‘harap maklum’. (Bahkan, bisa jadi Anda malah tengah berbangga hati harena bisa berlaku demikian dan merasa Anda jagoan yang berani.) Bolehlah bahwa Anda menganggap tata-krama dan sopan-santun (atau bertutur baik) hanyalah untuk mereka yang munafik, alias baik kalau lagi ada maunya saja. Harus ya, selalu seekstrim itu?
            Anda mungkin tidak peduli orang lain akan sakit hati dengan ucapan kasar Anda yang asalkan jujur itu. Nggak masalah, selama Anda siap bila suatu saat orang akan berbuat sama terhadap Anda. Ingat, karma selalu berbicara.
            Kalau tidak? Ya, Anda memang berhak suka-suka – seperti mereka pun berhak suka-suka. Jangan salahkan mereka yang pada akhirnya memilih diam, pura-pura setuju dengan Anda, atau malah menjauh sekalian. Habis bagaimana? Tidak ada dialog seimbang sih, antara Anda dengan mereka, apalagi bila yang Anda butuhkan hanyalah pendengar pasif dan pengikut buta – bukan mereka yang berpotensi membantu Anda berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Kita memang tidak selalu harus dan bisa sepaham, tapi bisa kan, kita sama-sama berusaha menjaga perdamaian?
            Sekali lagi, hidup ini bukan melulu soal Anda atau mereka. Tak ada yang bisa menjadi pusat semesta. Saatnya kita semua bersikap lebih dewasa.
            Jadi, benarkah si ‘muka dua’ selalu salah, licik, dan jahat? Selamat mencari tahu bila ingin. Selamat berusaha berdamai dengan kenyataan. Semoga setelahnya, kita semua dapat bertambah dewasa dan lebih bijak dalam menyikapi setiap persoalan.
            Selamat meraih hidup yang lebih damai dan bebas drama!

            R.

            (Jakarta, 5 April 2015)

Selasa, 07 April 2015

"BIARLAH"

Biarlah mimpi buruk cukup tersimpan dalam tidurku.
Takkan kubiarkan mereka menghantui saat aku bangun.
Aku tahu tanya itu di matamu.
Sebaiknya tak kubuat benakmu bertambah keruh.

Biarlah takut menjadi bayang samar di balik senyum ini.
Takkan kubiarkan teror mengusikmu hingga gelisah setengah-mati.
Aku tahu, diam-diam kau pun merasa ngeri.
Ada Tuhan, sayang, kita tak pernah sendiri.

Biarlah kita terus berusaha
meski dengan sisa-sisa yang ada.
Mereka bukan siapa-siapa,
maupun apa-apa
meski ingin dan merasa bisa menguasai segalanya.
Hidup ini bahkan bukan kita yang punya.
Lalu siapa mereka yang merasa berhak atas semua?

Serahkan takutmu pada-Nya.
Biarkan mereka suka-suka.
Matikan rasamu pada mereka
agar mereka tidak bisa berkuasa
apalagi berbuat apa-apa.
Kamu telah lama bebas merdeka
meski mereka masih selalu berusaha
memasukkanmu ke dalam penjara
mengataimu gila
menyebutmu tak berguna.

Mereka tak sadar telah lama kalah
saat hanya kepada-Nya kamu pasrah.
Jadi biarlah...

R.

(Jakarta, 4 April 2015)

Kamis, 02 April 2015

"AKU, KAMU, DAN BAHAGIA"

Kadang bahagia itu sederhana
seperti menyambut mentari pagi di atas sana
atau mendengarmu tertawa.
Kita akan menghabiskan waktu bersama,
tanpa peduli anggapan mereka
tentang kita yang memang apa adanya.

Bahagia bisa tercipta dari apa saja.
Mungkin kita bisa saling menebar senyum di bawah langit cerah.
Tak perlu yang susah-susah.
Aku enggan melihatmu resah,
seperti kau yang sedih melihatku gundah.

Bahagia itu kadang-kadang saja?
Ah, tidak juga.
Kalau mau, setiap saat bisa.
Suatu saat, kita akan mengenang ini semua:
Aku dan kamu – dua sahabat dalam bahagia.

R.

(Jakarta, 31 Maret 2015)

"TRADISI 'LANGKAHAN': TERUS KENAPA?"

Sebenarnya saya rada malas membahas ini. Selain mungkin termasuk rada ‘sensitif’ bagi beberapa orang (karena perkara tradisi kebudayaan), saya juga bukan yang pertama kali menyinggung-nyinggung soal ini.
            Singkat cerita, apa itu tradisi ‘langkahan’? Yah, bayangkan Anda yang masih lajang, namun adik Anda sudah mau menikah. Biasanya ada sejenis upacara ritual sebagai formalitas dimana si adik akan ‘meminta restu’ sang kakak untuk menikah duluan. Selain itu (katanya, nih!), demi kelancaran pernikahan si adik, sang kakak berhak meminta apa pun sebagai bagian dari tradisi tersebut – dan si adik harus menyanggupi, bagaimana pun caranya.
            Terdengar menyenangkan bagi sang kakak? Terdengar ribet bagi si adik? Apalagi bila sang kakak lantas langsung aji mumpung – meminta yang ‘macam-macam’, kalau bisa yang paling mahal sekalian. Kapan lagi bisa dapat barang gratisan? Hitung-hitung sekalian mem-bully si adik yang mau menikah duluan.
            Bila si adik tidak sanggup? Tergantung kebesaran hati sang kakak, mau merestui atau tidak. (Kalau memang restu sih, harusnya dari awal tidak sampai minta yang ‘aneh-aneh’, hehehe!)
            Kalau ternyata sang kakak tidak rela, bahkan ngotot agar keinginannya segera dipenuhi – entah bagaimana caranya? Yah, alamat rencana pernikahan si adik jadi tertunda...atau malah sampai terancam batal. (Hiiih!) Seberapa lama? Yah, lagi-lagi tergantung – bisa barang setahun atau dua. (Bahkan ada yang cukup ‘sadis’ hingga memakan waktu lebih lama dari itu, hanya gara-gara jodoh sang kakak tak kunjung tiba. Pokoknya nggak peduli, selama sang kakak menikah duluan – sesuai urutan kelahiran!)
            Iya kalau jodoh sang kakak segera muncul. Kalau belum juga atau tidak sama sekali? Salah-salah calon si adik malah ‘kabur’ mencari yang lain gara-gara enggan menunggu terlalu lama. ‘Kan kasihan adiknya! Tega-kah?
            Oke, mungkin setiap orang akan menghadapi situasi ini dengan cara masing-masing – baik sebagai adik, kakak, calon, hingga anggota keluarga lainnya. Bila calon si adik sampai tidak bisa menunggu, wajar saja. Apalagi perempuan. (Maklum, selain jam biologis yang sudah ‘berbicara’ – perempuan juga yang paling sering di-bully soal pernikahan!) Tidak bisa disalahkan.
            Mungkin niat adanya tradisi ‘langkahan’ ini awalnya baik, yaitu: sebagai bentuk penghormatan kepada saudara yang lebih tua. Lagipula, bukankah kita pasti meminta restu orang tua dulu sebelum menikah dengan pilihan kita?
            Namun, bila dirasa tradisi ini sudah mulai keterlaluan dan ‘menghambat’ rencana Anda, bolehlah bersikap tegas dan meminta pengertian keluarga. Biar bagaimana pun, Anda berhak bahagia. Jangan mentang-mentang Anda lebih muda lantas harus selalu mengalah!
            Lalu bagaimana bila Anda berada di posisi sang kakak? Hmm, lagi-lagi saya terpaksa menambahkan: apalagi bila Anda perempuan. (Masih dengan dua alasan yang sama.) Wajar sekali bila sempat terbersit rasa sedih, kalah, gagal, hingga iri. Belum lagi bila diperparah dengan ragam komentar yang bikin sakit telinga dan hati, seperti:
            “Giliran kamu kapan? Ayo, udah mau disalip adikmu, tuh!”
            Disalip? Balap F1 kali, main salip-salipan!
            Mungkin di sinilah iman Anda akan diuji. Akankah Anda mudah ‘termakan’ komentar-komentar nyinyir macam itu, lalu enggan merestui adik Anda karenanya? Atau Anda mungkin malah akan (mencoba) berbesar hati, mengingat mereka yang (mungkin bisanya hanya) berkomentar sebenarnya lupa bahwa mereka bukan Yang Maha Menentukan Segalanya. Untuk apa? Apa untungnya bagi mereka yang (mencoba) membuat Anda merasa bersalah / jelek / kurang berharga hanya karena belum menikah – dan mau keduluan adik pula?
            Bayangkan Anda di posisi adik Anda. Ingin segera menikah, namun kakak calon pendamping Anda belum menikah dan menuntut kalian berdua agar mau menunggu sebentar hingga dia segera menikah duluan? Anda mau?
            Pastinya, iman keluarga juga akan diuji. Bersyukurlah bila sang kakak sudah ikhlas agar pernikahan si adik berjalan lancar. Tak perlu membuatnya sedih dan sakit hati dengan komentar-komentar yang tidak patut. Doakan saja yang terbaik. Jangan rusak niatnya untuk ikhlas, apalagi sampai sengaja ‘mengganggu’ rencana pernikahan si adik dengan beragam alasan. Lagipula, bukankah hanya Tuhan Yang Maha Tahu Segalanya – entah itu urutan kelahiran anak dalam keluarga, hingga kapan seseorang menikah? Nggak selalu harus pakai urutan yang sama, ‘kan?

            R.