Senin, 28 September 2015

“SAATNYA BERHENTI (KESERINGAN) ‘TANYA KENAPA?’ “

“Kok dia milih cewek itu? Nggak banget!”
            “Apa sih, yang dia liat dari cowok itu? Yang cakep masih banyak!”
            “Jodohnya kayak gitu. Alamat harus ekstra sabar dia!”
            Sering banget denger komentar-komentar ‘miring’ di atas? Mungkin saat menggosipkan selebriti yang pacaran / menikah dengan sosok yang menurut fans / publik (termasuk Anda?) nggak selevel? Atau mungkin bukan selebriti, tapi dari lingkaran pertemanan sendiri? Atau mungkin itu isi status Anda di social media?
            Atau malah Anda yang (ternyata) jadi bahan obrolan yang demikian? Bila ya, bagaimana rasanya?
            Dalam hal ini, apa peran Anda biasanya? Bila (hanya) sebagai pendengar, apa reaksi Anda? Lama-lama muak akibat energi negatif mereka (habis ngomongin orang lain melulu!) hingga memilih ogah dekat-dekat? Atau malah senang karena ada hiburan ‘gratis’ (dengan kualitas yang udah nggak usah disebut lagi) dan bahkan ikut ‘mengamini’ ucapan mereka – baik secara terang-terangan atau hanya dalam hati saja?
            Apakah Anda pelakunya, yang gemar membagi info tentang seseorang dan opini Anda mengenai mereka ke semua orang, tak peduli mereka suka atau tidak? (Ada kemungkinan kalau begini Anda termasuk yang juga aktif di social media, mungkin bahkan jauh lebih aktif di dunia maya daripada yang nyata.)
            Mungkin Anda akan sewot dan berpendapat: “Suka-suka orang mau bilang apa!” Saya mungkin juga akan membela korban gunjingan Anda: “Suka-suka orang mau milih siapa. Kok jadi Anda yang ribut? Memangnya situ mau, urusan pribadi diusik-usik orang lain? Lain cerita kalo situ emang doyan cari perhatian, apa pun bentuknya!”
            Sadar tidak sadar, kita cenderung menjadi kritikus paling gesit dan berani, bahkan untuk hal-hal yang (belum / enggan) kita ketahui dan pahami. Kalau sudah begini, kita suka lupa bahwa keadaan bisa selalu berbalik. Lain kali Anda bisa jadi bahan pembicaraan orang lain. Jangan langsung marah-marah dulu dan merasa jadi korban pergunjingan paling menderita. Cukup tanyakan pada diri sendiri: pernah khilaf berbuat serupa? Kalau ya, anggap saja karma sedang bekerja memperingatkan Anda. Kalau tidak, anggap saja Anda tengah diberi pelajaran berupa kesabaran serta contoh nyata perbuatan yang tidak perlu Anda tiru, apa pun alasannya.
            Mungkin, sebelum lain kali mulut (atau jari-jari) ‘gatal’ ingin beraksi, ada baiknya kita pikir-pikir dulu beberapa kemungkinan di bawah ini:

1.    Apa alasannya dan apa untungnya bagi Anda?
2.    Jika mereka tahu ulah Anda dan membalas dengan melabrak Anda (atau menuntut secara hukum dengan pasal perbuatan tak menyenangkan atau pencemaran nama baik – terutama di social media), Anda sudah siap? Kalau mereka anteng-anteng aja, siap-siap Anda yang jadi kelihatan konyol dan memalukan di mata dunia. (Itu kalau Anda masih peduli dan tahu diri, ya!)
3.    Memangnya Anda siapa, merasa berhak mengatur-atur si A harus jadian sama siapa? Kalau Anda ternyata ketahuan diam-diam naksir si A, bukankah Anda hanya akan dipandang sebagai sosok pencemburu, iri, dan pendengki? Hiiih!
4.    Lama-lama jumlah teman Anda berkurang, kecuali mereka yang sesama tukang (dan penikmat) gosip. Memang sih, sahabat sejati harusnya bisa menerima Anda apa adanya. Cuma, jangan juga Anda jadi keenakan sehingga malah terus memelihara kebiasaan buruk ini. Percuma juga Anda mencari pembenaran dengan alasan “Cuma ingin jujur” atau “Emang kenyataannya dia kayak gitu, kok!” Terus, Anda harus menjadikannya masalah pribadi Anda, begitu?
5.    Kata siapa kebiasaan ini nggak akan mempengaruhi karir maupun relationship Anda? Zaman sekarang, pihak HR perusahaan juga memantau kegiatan social media karyawan mereka. (Lain cerita kalau Anda men-setting akun Anda hingga tidak bisa diakses semua orang – atau Anda malah tidak punya sama sekali.) Meski awalnya HANYA menggosipkan selebriti yang tidak kenal secara pribadi dengan Anda, sadar tidak sadar Anda bisa lama-lama bablas – beralih ngomongin keluarga, teman, rekan kerja, dan bahkan pasangan Anda – ke banyak orang. Bukan tidak mungkin pihak perusahaan akan berpikir sekian kali untuk menerima / mempertahankan Anda. Takutnya aib orang sekantor (atau parahnya, RAHASIA PERUSAHAAN!) Anda sebar-sebar.

Pasangan mungkin lama-lama bisa hengkang bila tiap kali berdua, yang Anda bahas / kritik hanya kehidupan asmara orang lain, seolah-olah Anda yang paling ahli dan tidak ada topik lain. Capek nggak, sih? Bukan nggak mungkin lagi bahwa Anda juga akan menggunjingkan pasangan setiap kali berselisih – atau mungkin malah setelah putus! Lupakan predikat “Mantan Elegan” bila mulut (dan jari-jari) masih saja sulit direm.

6.    Anda terlihat kurang bahagia, kurang sibuk, atau mungkin keduanya. Butuh kerjaan?

Ingat-ingat saja pepatah dari Eleanor Roosevelt:
“Small minds discuss people.”
(Terjemahan gamblang: otak dangkal bisanya hanya ngomongin orang. Gitu.)
Seorang rekan lama (yang waktu itu kebetulan sudah menikah) pernah punya teori begini:
“Yang menentukan seseorang cepat dapat pasangan hidup atau jodoh itu attitude  mereka.”
Jujur, saya tidak setuju. Ini bukan semata karena saya masih lajang. Mungkin Anda juga diam-diam suka bertanya-tanya. Si A yang menurut Anda baik/cantik/ganteng/tajir/soleh(ah)/pokoknya yang bagus-bagus, ternyata masih melajang hingga kini. Sementara itu, si B yang menurut Anda biasa banget – bahkan banyak kurangnya – malah sudah menikah. Bagaimana bisa?
Dan kenapa Anda yang rasanya cukup baik belum dilirik-lirik juga? Apa yang salah? (Hayo, jangan sampai ‘terjebak’ jadi sombong!)
Jawabannya sederhana: semua rahasia Tuhan. Beliau punya Kebijakan Sendiri yang Anda, saya, dan kita semua belum tentu paham dan selalu bisa menerima. Manusia hanya bisa berencana, berusaha, dan berdoa. Sekian.
Bisa jadi, sosok yang Anda anggap baik dan nyaris mendekati sempurna itu punya ‘aib’ yang tidak terlihat. Begitu pula sebaliknya, yang Anda pandang sebelah mata gara-gara menurut Anda ‘banyak cacatnya’, mungkin punya kebaikan yang hanya bisa dilihat sosok yang memilih mereka sebagai pendamping hidup. Kita tidak pernah tahu. Waktu dan tempat selalu dapat mengubah manusia.
Karena itulah, saya merasa bahwa teori rekan saya mengenai korelasi attitude dengan cepat mendapatkan jodoh itu tidak adil. Kesannya orang baru dinilai ‘baik’ kalau sudah menikah, sementara yang (masih) lajang (apalagi dianggap kelamaan) dipandang sebagai pecundang dalam urusan asmara. Terdengar seperti kesombongan akut bagi saya.
            Bukankah jodoh itu tak hanya berkah, tapi juga cobaan – sama seperti kekayaan dan jabatan? Lagipula, semua butuh proses dan relatif, alias tidak bisa dipaksakan harus sama dan sejalan. Mie instan saja perlu dimasak dulu!
Seperti fakta bahwa yang baik tidak selalu berjodoh dengan yang sama baik. Bisa jadi Tuhan tengah menguji mereka dengan dua hal di bawah ini:
1)    Agar yang baik dapat bersabar dan menjadi inspirasi bagi yang kurang baik.
2)    Agar yang kurang baik dapat memperbaiki diri dengan mencontoh yang baik.

Apakah mereka akan berhasil? Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Mending doakan yang baik-baik saja daripada hanya nyinyir nggak karuan. Toh, kalau Beliau sudah memutuskan, Anda mau apa?
Bagaimana? Masih mau ngomongin juga? Nggak ada topik lain? Jangan sampai nanti giliran pasangan Anda yang ditanya kenapa dia mau saja sama Anda yang hobi usil dan nyinyir sama urusan pribadi orang lain. Males banget, ‘kan?
Itu kalau Anda punya pasangan, lho. Ups, hihihihi!

R.

(Jakarta, 25 September 2015 – 11:00)


Rabu, 23 September 2015

#CSW-CLUB DIARIES 8: "TENTANG TAMAN"

Bukan berita baru lagi kalau kota-kota besar seperti Jakarta semakin butuh "ruang hijau" seperti "taman kota" daripada gedung-gedung tinggi. Ngapain? Mall sudah bejibun (dan masih mau tambah lagikah?), tapi isinya sama semua. Nggak bosan? Mending semua orang pada suka belanja.
Sempat taman dipandang 'menakutkan' pada pemerintahan era lalu, bahkan di tengah kota paling padat pun. Apa pasal? Bukan, bukan selalu perkara mistis. Rupanya karena paranoia pihak penguasa. Sempat ada larangan untuk berkumpul di taman gara-gara khawatir akan tercipta pembicaraan yang 'bukan-bukan' (seperti rencana kudeta, misalnya.)
Karena khawatir tidak bisa mengawasi (baca: menguping) semua orang, maka diperbanyaklah mall agar semua orang dapat dikumpulkan di dalam ruangan dan termonitor lewat CCTV.
Setidaknya itu hanyalah salah satu teori (yang jujur cukup bikin bergidik, seperti perihal mistis.) Ada teori lain yang (lebih) diamini sejuta umat, terutama kalangan urban:
Taman (dianggap) tidak memberikan keuntungan ekonomis. (Bagi siapa? Pertanyaan bagus.) Perawatannya mahal dan harus terus-terusan. Menanam, menyiram rumput, tanaman, dan pepohonan yang ada, hingga menyingkirkan sampah yang dibuang sembarangan oleh mereka yang merasa masih 'manusia' , namun sayang kelakuannya lebih mirip kera / primata.
Sayangnya, mereka kerap lupa bahwa biaya kesehatan untuk penderita asma dan ISPA (Inspeksi Saluran Pernapasan Akut) akibat polusi yang kian menebal juga makin mahal. Perawatan kesehatan jiwa apalagi. Bukan cerita baru bahwa makin banyak yang stres dan rentan depresi akibat kurangnya mereka terekspos akan lahan hijau. Mau olah raga saja harus di dalam ruangan, berlari di atas treadmill ibarat tupai di atas roda mainan di dalam kandang mereka. Bukan oksigen yang didapat, melainkan freon AC dalam paru-paru mereka. Kasihan, ya?
Mentok-mentoknya paling kabur ke daerah lain yang lebih sepi dan hijau kala sempat. Atau pindah ke sana sekalian bila dirasa sudah siap.
"I don't miss this city at all," aku seorang teman lain yang dulu pernah cukup lama menetap di Jakarta sebelum pindah ke Bali. Ya, siapa juga sih, yang kangen dengan kemacetan tiap hari, dimana pemakai jalan sudah semakin buas - rebutan jalur dan saling cela atau saling jegal dengan ganas, seolah-olah mereka semua akan mati bila bersabar barang sedetik saja? "Mereka kira gedung-gedung ini bakalan bikin kota ini sekeren Gotham City di komik Batman, padahal asli hancur banget!"
"Kota ini butuh lebih banyak taman," seru teman yang lain lagi. "Taman tempat yang cocok untuk berkumpul dan mengasah kreativitas serta berbagi ide."
Semoga jumlah taman di kota Jakarta ini bisa bertambah. Percuma juga banyak gedung, bila akhirnya yang dihasilkan juga lagi-lagi hanya...SAMPAH!

R.
(Jakarta, 18/9/2015 – 13:10. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 17 September 2015, pukul 20:00 di Taman Suropati - Menteng. Tema: “Taman / Park”.) 

Selasa, 22 September 2015

"UNTUK LELAKI YANG BAIK"

Bagaimana bila kukatakan ini?
"Kaulah alasanku masih ingin percaya
bahwa masih ada lelaki baik di dunia
dan kaulah salah satunya?"

Kau mungkin akan tertawa,
lalu berkata: "Ah, biasa saja."
Kau hanya mengikuti ajaran ibunda
terutama cara memperlakukan kaum Hawa.

Kau mungkin juga akan menganggapku manis,
sementara aku yang gugup hanya bisa meringis.
Apa boleh buat, memang demikian adanya.
Hidup ini terlalu singkat untuk berpura-pura.

Biar kukatakan sekali lagi:
"Karenamu, aku masih percaya
bahwa dunia belum kekurangan lelaki baik,
karena kaulah bukti hidup dan nyata."

Tidak juga?
Kalau begitu, kenapa kau bisa membuatku bahagia?
Kenapa aku sampai tidak rela bila kau terluka,
berduka hingga berurai air mata?

Semoga dia menyadarinya,
sepertiku yang kini tak lagi buta.
Mungkin kalian masih bisa kembali bersama,
karena aku percaya
lelaki sebaikmu seharusnya bahagia...

R.
(Jakarta, 22 September 2015 - 12:30)

Kamis, 10 September 2015

"SEBUAH PENANTIAN DALAM DIAM"

Dalam diam dia menantimu
sunyi sepi namun mengharu-biru
Sudah lama kalian tidak bertemu
Masihkah kau seperti dulu?

Dalam diam dia menunggu
kabar apa pun darimu
Tiada lagi kelabu
karena kalian akan kembali bertemu

Apa kabarmu?
Tentu dia ingin tahu
Namun, saat ini dia harus sabar menunggu
hingga saat kalian bertemu...

R.


(Jakarta, 8 September 2015 – 11:00)

Rabu, 09 September 2015

"TREND: MEMBURU ATAU DIBURU?"

Kita semua sudah tahu bahwa trend selalu berganti. Lajunya pun cepat sekali. Ada yang rajin mengikuti, biasa saja, atau malah tidak peduli.
            Kalau Anda termasuk yang mana? Pemburu trend sejati, yang biasa saja, atau yang tidak peduli? Ngomong-ngomong soal pemburu trend, apakah Anda yakin Anda seorang pemburu – bukan sebaliknya?
            Entah kenapa, dari dulu saya bukan maniak trend. Kalau sudah suka sama satu hal, saya akan setia meski dibilang ketinggalan zaman, kuper, dan celaan merendahkan lainnya. Selain itu, saya juga tidak akan repot-repot membeli sesuatu atau mencoba kegiatan baru yang lagi (dianggap) nge-hits atau happening banget, bila dirasa memang tidak perlu atau saya sama sekali tidak tertarik.
            Seperti waktu BlackBerry baru mulai trend. Saya pernah dikomentari rekan kerja: “Ngapain masih pake hape jadul? Ketinggalan banget lo!” Reaksi saya? Hanya senyum dan berlalu. Sebodo’ amat! Kalau saya sendiri memang merasa belum perlu ganti ponsel, lantas dia mau apa?
            Akhirnya saya baru membeli BlackBerry saat ponsel lama saya rusak. Itu pun saat orang-orang mulai beralih memakai Android. Ketinggalan lagi? Pastinya. Bahkan saat BlackBerry saya akhirnya bernasib sama dengan ponsel sebelumnya, baru saya beralih memakai Android. Sementara itu, yang punya budget lebih sudah mulai memakai i-Phone, apalagi yang i-Phone 6.
            Terus? Saya harus panik kayak kambing kebakaran di jenggot, begitu? (Apalagi saya juga nggak pernah terlahir dengan jenggot, jadi bagaimana, dong?)
            Nggak apa-apa sih, bagi yang memilih untuk terus mengikuti trend. Saya enggan menghakimi, berhubung saya sendiri juga tidak sudi dihakimi. Saya hanya bukan tipe yang suka membuang-buang waktu, tenaga, biaya, pikiran, dan perasaan belaka demi menuruti ego semata – mengejar sesuatu yang tak pernah pasti. Jangan sampai acara memburu trend atas nama ‘harga diri’ (alias biar dianggap atau berasa ‘eksis’) berakibat kehilangan jati diri. Toh, tidak semua harus diikuti, karena belum tentu juga cocok dengan selera atau sesuai kebutuhan pribadi. Pada suka selfie? Ya, sudah. Mungkin ada juga yang lebih memilih foto-foto latar lokasi daripada muka-muka beragam seringai. Mungkin ada juga yang memilih menjadikan foto-foto mereka koleksi pribadi, alias tidak perlu dipamerkan sana-sini.
            Jadi, kapan mau berhenti jadi budak trend?


            R.

Sabtu, 05 September 2015

#CSW-CLUB DIARIES 7: "MATAHARI TERBIT"

Yang gemar bangun pagi biasanya memulai hari dengan menyambut terbitnya matahari. (Tergantung agama dan kepercayaan masing-masing, ada juga yang seakan 'balapan' sama matahari - alias dulu-duluan bangun!)
Alasan mereka yang senang (dan sudah terbiasa) bangun pagi? Selain bikin badan terasa segar, hari jadi terasa lebih panjang dan banyak yang bisa dilakukan. Banyak pekerjaan yang bisa segera diselesaikan hari itu juga. Berbeda dengan mereka yang lebih senang / memilih bangun siang atau bahkan terpaksa bekerja dengan jam 'kalong'. Alamat bisa tidur seharian, sementara yang lain bekerja.
Bagi yang hidup di negara tropis macam Indonesia, bersyukurlah. Jatah sinar matahari pagi bisa dibilang stabil sepanjang tahun, kecuali mungkin pas musim hujan. Berbeda dengan mereka yang tinggal di negara empat musim, yang belum tentu bisa menikmati cerahnya sinar matahari pagi setiap hari. Selain dingin juga tidak terang-terang amat!
Nikmatilah terbitnya matahari pagi, selama masih diberi kesempatan tersebut. Bagi beberapa orang, bisa jadi itu merupakan pagi terakhir mereka di dunia. Seperti sosok Aylan Kurdi, bocah berkaus merah dan celana pendek biru yang terdampar di pantai saat keluarganya berusaha mengungsi ke tempat yang lebih baik - meninggalkan tanah kelahiran mereka yang digolak oleh perang...
Kita tidak pernah tahu...
R.

            (Jakarta, 5/9/2015 – 22:24. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 3 September 2015, pukul 20:00 di Goedkoop, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan. Tema: “Matahari Terbit / Sunrise”.) 

TENTANG BLOGGER INI:

TENTANG BLOGGER INI:
Ada yang bilang, perempuan yang suka menulis (ya, iyalah!), membaca, menyanyi, mendengarkan musik, menonton film, konser, hingga pagelaran teater ini terlalu sibuk. Selain mengajar Bahasa Inggris, perempuan ini juga penulis dan penerjemah. Novel perdananya - "Reva's Tale" - telah diterbitkan oleh Ice Cube Publisher, Gramedia.
Terus, sekarang dia lagi ngapain?
Masih sama: mengajar, menerjemahkan, dan menulis. Selain itu, sebisa mungkin berusaha mengurangi kegelisahannya dengan banyak-banyak berdoa, belajar ikhlas, mencoba tidur dan olah raga teratur, mengatur pola makan, hingga mengurangi minum kopi!
R.

"SELAMAT TIDUR, AYLAN KURDI..."

Dunia ini terlalu kejam untukmu, nak
Banyak yang gemar berpura-pura
Mereka hindari kabar buruk bak wabah
Terlalu ngeri kenyataan ini mereka hadapi

Ya, dunia ini terlalu kejam, nak
terutama untuk jiwamu yang murni tanpa dosa
Apakah kemanusiaan telah lama terkutuk?
Seakan tiada yang sudi merangkulmu

Kau tampak lelap dalam diam
terdampar jauh dari lautan dalam
Kau lebih dari gumpalan kecil merah dan biru
Andai banyak yang dapat kami lakukan untukmu

Akankah banyak lagi yang sepertimu?
Kutahu kau bukan satu-satunya
Ya, Tuhan! Kata mereka usiamu baru tiga
Ayah-bundamu telah berusaha menjagamu dan kakakmu
apa pun agar kalian aman selalu

Mungkin kau benar-benar telah tertidur
Tiada yang dapat melipur lara yang enggan terkubur
Kau tampak damai, namun kami selamanya dihantui rasa ngeri
melihat jenazahmu tersapu hingga ke pantai

Kuyakin kau aman dalam pelukan-Nya
Kini jiwamu tak lagi terpenjara
Semoga kau akan berkumpul kembali dengan keluarga
dalam Surga Abadi bernama "Al-Jannah" untuk selamanya...

R.
(Jakarta, 5 September 2015 - 20:42)

Rabu, 02 September 2015

"TERSESAT DI DUNIA MAYA"

Sebuah pesan singkat singgah di ponselku: “Mak, nyalakan internetnya, dong! Mau pulang, nih.”
            Awalnya tak kugubris. Namun, pas tengah malam kedua, pesan itu muncul lagi. Selalu dari nomor yang sama: 865-664-258.
            Lama-lama aku kesal. Kubalas pesan aneh itu: “Ini siapa, sih?”
            Anehnya, pesan balasanku tidak terkirim. Kucoba menelepon nomor itu. Yang kudengar hanya nada sambung tiga kali sebelum akhirnya terputus.
            Esoknya, aku bercerita pada sahabatku, Bintang. Bintang yang sangat suka misteri langsung tertarik.
            “Mana?” Ketika kutunjukkan pesan itu berikut penjelasan mengenai yang sudah pernah kulakukan untuk mencari tahu niat si pengirim, tiba-tiba Bintang punya ide: “Coba forward ke aku, deh.”
            “Oke.”
            Buru-buru Bintang mengecek ponselnya. Keningnya berkerut. “Hmm, aneh.”
            “Kenapa?” tanyaku penasaran. “Nggak kekirim?”
            “Kekirim, sih,” jawab sahabatku. “Cuma, nomornya bukan dari nomor kamu.”
            “Hah?” Oke, sekarang ini beneran aneh. Masa pesan yang ku-forward ke ponsel Bintang keluarnya bukan dari nomorku, tapi dari 865-664-258? Nggak mungkin banget. “Mungkin kamu juga dapet kali, sementara pesanku belum keterima.”
            “Kok bisa, ya?” Giliran Bintang yang mencoba menelepon nomor itu. Sama seperti kasusku, tidak bisa. Lagi-lagi yang terdengar hanya nada sambung tiga kali sebelum terputus secara otomatis.
            Kami bertukar pandang. Sayangnya, bel keburu berbunyi. Kami pun batal melanjutkan obrolan dan mulai belajar hari itu.
            Sesaat aku melupakan soal pesan aneh itu di ponselku...dan sekarang juga ponsel Bintang tentunya. Namun begitu malam tiba, saat aku tengah menyalakan internet, tiba-tiba Bintang menyapaku lewat chatroom messenger di Facebook:
            “Lan, aku takut.”
            “Kenapa?”
            “Ada yang terus berusaha add aku, tapi anehnya punya akun yang persis sama denganku. Plek-plek seisinya. Udah aku reject terus dan bahkan sampai blokir, tapi entah kenapa dia berhasil masuk dalam daftar temen-temenku.”
            “Hacker kali.”
            “Nih, sekarang udah kucoba remove dia berkali-kali, masih aja ada. Balik lagi terus, Lan. Kublokir lagi juga nggak bisa.”
            “Sebentar, aku cek dulu.” Aku beralih ke profil Bintang dan daftar teman-temannya. Tidak ada apa-apa. Semua tampak normal.
            “Nggak keliatan, Tang,” ketikku membalas pesan terakhirnya. “Di situ masih ada?”
            Tak ada respon. Hening. Kuketik lagi: “Bintang?”
            Sama saja. Kutelepon, tidak diangkat. Ah, sudahlah. Mungkin Bintang ketiduran. Besok saja aku tanya.
            Tak pernah kusangka, itulah malam terakhir aku mengobrol dengannya. Keesokan harinya, orang tua Bintang melaporkan kehilangan putri tunggal mereka. Anehnya, dia seperti raib tanpa jejak. Yang ditemukan di kamarnya hanya baju tidurnya di atas kursi, depan komputer yang masih menyala.
            Pesan misterius itu juga mendadak lenyap dari ponselku, meski aku masih sempat iseng-iseng menebak kode dari nomor telepon itu:
            865-664-258 à TOL-ONG-AKU
            Mengapa hanya Bintang yang hilang? Teori hororku, mungkin gara-gara malam itu dia online duluan di internet sebelum sempat mem-forward itu ke nomor lain. Setidaknya itu pengakuan yang kudengar dari beberapa orang lain yang juga pernah menerima pesan serupa dan selamat berkat mem-forward pesan itu ke orang lain.

            “Mak, nyalakan internetnya, dong! Mau pulang, nih.” Jika kebetulan menerima pesan seperti itu dari ponselmu, jangan turuti. Segera forward ke nomor lain, demi keselamatanmu. Lebih bagus lagi kalau setelahnya, kamu bisa memperingatkan penerima pesan berikutnya. Mungkin kamu akan dianggap gila karena terdengar sangat aneh, tapi lebih baik begitu daripada tidak sama sekali.


"PUISI UNTUK PEMALAS"

Bangunlah, wahai pemalas!
Mau sampai kapan berleha-leha?
Ucapan favoritmu adalah: "Nanti saja."
Tak sadar suatu saat kau yang habis terlibas.

Katamu sudah cukup puas
dengan semua yang ada
Untuk apa lagi susah-payah berusaha?
Yang ada malah lelah akibat bekerja terlalu keras.

Jika demikian,
tak perlulah menebar iri, dengki, dan semua kebencian
kepada mereka yang tak henti bergerak
sementara kalian memilih diam jadi kerak.

Bukan salah mereka kalian merana.
Katanya suka leha-leha?
Biarkan mereka terus berusaha,
sementara kalian sendiri enggan kemana-mana.

Berhentilah merengek, wahai para pemalas!
Jangan buat mereka gerah
dengan kalian yang bisanya hanya berkeluh-kesah
terus-menerus mencari siapa yang salah!

R.
(Jakarta, 29 Agustus 2015 - 11:15 )