Minggu, 29 November 2015

#CSW-CLUB DIARIES: "KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN"

Mungkin ini termasuk salah satu topik terberat dalam sejarah pertemuan The Couchsurfing Writers' Club di Jakarta. Sesi ini juga sekalian memperingati "Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan". Kampanye "Orange Your Hood" sudah berlangsung sejak 25 November kemarin hingga 10 Desember nanti.
Sudah terlalu lama kita terkungkung dalam budaya patriarki yang kebanyakan hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya, dalam hal ini lebih enak di laki-laki daripada perempuan. Sudah terlalu banyak cerita duka di baliknya, baik yang masih tersimpan rapat sebagai rahasia maupun yang dengan berani dibagi kepada dunia, tak peduli cemoohan mereka. Sudah terlalu lama kita hanya bisa saling tuding, saling mencari kambing hitam, hingga ajang balas dendam tanpa penyelesaian yang memuaskan semua pihak. PR kita masih banyak. Sangat banyak.
Semoga kita semua dapat dan mau bekerja sama menangani akar masalah global ini: cara kita memandang perempuan sebagai individu dengan identitas sendiri yang berhak diakui dan dihargai, bukan sekedar pelengkap hidup laki-laki. Semoga tidak ada lagi anak perempuan yang dilecehkan teman laki-lakinya, meski dengan alasan "penasaran/coba-coba". Tidak ada lagi perempuan yang disiuli dan dipanggil-panggil dengan ucapan tidak senonoh di pinggir jalan oleh para lelaki berandalan yang sepertinya kurang kerjaan (atau jangan-jangan memang pengangguran?) Apa pun yang mereka kenakan dan meskipun sedang sendirian, tak perlulah mereka jadi sasaran.
Semoga tidak ada lagi perempuan yang menjadi korban kekerasan, baik oleh keluarga, pasangan, hingga lingkungan yang sering bisanya hanya menghakimi tanpa memberi solusi.
Cinta harusnya memberikan rasa aman. Semoga para kekasih mereka (pacar/suami) yang kasar segera sadar dan memperbaiki diri sebelum terlambat. Semoga para orang tua dan kerabat tidak memandang rendah anak perempuan mereka, hanya karena belum juga menikah.
Semoga para perempuan yang (terlanjur) terluka diberi kekuatan untuk bangkit kembali, memaafkan diri sendiri, dan belajar berdamai dengan masa lalu. Semoga mereka juga akan kembali mulai (lebih) mencintai diri sendiri...
R.
(Jakarta, 27/11/2015 – 11:05. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 26 November 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee - Senopati. Tema: “Kekerasan Terhadap Perempuan”.)

"SEMUDAH ITU..."

Semudah itu kau menyebutku
semua istilah buruk itu
yang berlompatan keluar dari mulutmu
setiap kita berseteru

Semudah itu tanganmu melayang
kakimu menendang
hingga aku kesakitan
meringkuk dengan luka di sekujur badan

Seharusnya,
tidak sesulit ini bagiku untuk pergi
meninggalkanmu sendiri
sebelum kau terus menyiksaku sampai mati...

R.
(Jakarta, 27 November 2015 - 7:00)

Senin, 23 November 2015

#CSW-CLUB DIARIES: "TERBUKA"

Banyak kisah, pendapat, hingga spekulasi di balik kata 'terbuka'. Tidak hanya tanda 'OPEN' yang tergantung di pintu kaca toko yang biasanya mengundang pengunjung untuk datang dan masuk untuk melihat-lihat isinya. Setelah itu, siapa tahu ada yang berkenan membeli.
Bagaimana dengan 'buka-bukaan' yang lain?
Tuh, 'kan? Belum apa-apa mikirnya sudah pada kemana-mana. Macam-macam saja.
Hehehe...
Banyak opini tentang pakaian yang (dianggap) terlalu 'terbuka', begitu pula sebaliknya. Ini juga berlaku bagi kepribadian manusia hingga kebijakan suatu negara. Ada yang bilang, orang dengan kepribadian terbuka lebih menyenangkan hingga banyak teman. Berbeda dengan mereka yang berkepribadian tertutup: cenderung lebih misterius, agak sulit percaya dengan orang lain - apalagi saat pertama, namun jadi bisa lebih menilai yang mana yang benar-benar teman sejati.
Bagaimana dengan kebijakan suatu negara? Ada yang takut bila negaranya terlalu 'terbuka' dengan pihak asing. Selain khawatir kehilangan jati diri budaya sendiri akibat terpengaruh budaya luar, alasan lainnya adalah takut dijajah lagi.
Benarkah semua yang serba terbuka itu selalu baik/buruk? Apakah kita siap dinilai, dipuji, maupun dihakimi setelah terbuka/memutuskan untuk tetap tertutup? Selain itu, bila kita ingin membuka segala sesuatu, apakah kita benar-benar siap dengan yang akan kita temukan nanti?
Setelah siap menerima sesuatu yang telah kita buka, apa langkah berikutnya? Apakah kita akan menunjukkannya pada orang lain - atau cukup kita saja yang tahu?
R.
 
(Jakarta, 20/11/2015 – 11:05. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 19 November 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee - Setiabudi One. Tema: “Terbuka”.)

"RELAKANLAH (2)"

Tidurlah, tidur
Itu hanya mimpi buruk
Jangan biarkan logikamu kabur
Jangan sampai kau terpuruk

Obatnya cukup membantu
Biarkan dirimu lelap dalam kegelapan
Jangan biarkan ingatan itu kembali dalam tidurmu
Tiada lagi yang dapat kau lakukan

Relakan
Cukup ingat yang indah-indah saja
meski kehilangan selalu meninggalkan luka...

R.
(Jakarta, 24 November 2015 - 6:35)

Rabu, 18 November 2015

"TERBAIK DARI YANG TERBAIK"

(Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku")
Dari dulu hingga kini, saya selalu punya kesulitan dalam hal memilih guru favorit. Bukannya tidak peduli, tetapi saya khawatir terkesan pilih-kasih. Lagipula, bukankah setiap guru punya keistimewaan masing-masing?
            Baiklah. Jika harus memilih, ada beberapa nama yang bisa jadi perwakilan, guru-guru terbaik dari yang juga terbaik. Beberapa di antara mereka adalah:
            Ibu Emma. Beliau guru Bahasa Indonesia saya waktu SMP. Mengapa beliau? Mungkin karena sejak kecil saya memang sudah sangat tertarik dengan dunia bercerita dan tulis-menulis. Berkat beliau, saya jadi semakin cinta dengan puisi dan fiksi. Namun, pernah juga saya membuat beliau cemas dengan cerpen saya yang sudah bergenre thriller, meski waktu itu saya masih berusia 13 tahun. Kisah yang saya tulis tentang seorang remaja perempuan berusia 14 tahun yang mendekam di penjara karena telah membunuh kakak perempuannya dan beberapa teman sekelasnya akibat rasa benci dan dendam.
            Kenapa cemas? Waktu itu, Ibu Emma khawatir yang saya tulis bukan sekedar fiksi, melainkan niat terpendam. Maklum, dulu saya anaknya sangat pemarah.
            Ada juga Bapak Eri Sulistyo, guru Geografi yang dulu terkenal tegas namun disegani – masih di SMP yang sama. Beliau galak? Pasti, namun dengan tujuan yang jelas – alias bukan asal galak hanya agar ditakuti murid-muridnya. Hobi beliau adalah memberi kuis dadakan berupa hapalan peta di depan kelas dengan memanggil tiap anak untuk segera menunjuk lokasi yang beliau sebut. Tidak hapal? Siap-siap saja kena marah. Alasan beliau?
            “Kalian tidak pernah tahu kapan kalian butuh menghapal lokasi. Bisa jadi suatu saat nanti kalian sendiri akan pergi ke sana.”
            Bersyukurlah bagi teman-teman sekelas dulu yang kini berprofesi sebagai travel writer – atau mungkin pekerjaan mereka banyak melibatkan wisata. Selain itu, Pak Eri juga menyadarkan saya akan fakta bahwa negara kita hobi sekali mengekspor minyak bumi – hingga sekarang akhirnya malah kewalahan sendiri begitu sadar cadangan energi semakin menipis. Begitu pula tentang 2015 sebagai tahunnya AFTA (Asian Free Trade Association), sementara kita masih saja megap-megap karena belum sepenuhnya siap.
            Intinya, Pak Eri ingin agar kami semua berpikir ke depan dan tidak cepat puas dengan yang sudah ada.
            Masih banyak lagi para guru yang telah berjasa mengantarkan saya hingga menjadi seperti sekarang. Ada juga Ibu Dhani, guru Sejarah di SMA yang membuat saya seperti mendengar cerita-cerita dongeng setiap jam pelajaran beliau. Untung saja tidak sampai jatuh tertidur. Lalu Bapak Juliansyah dan Ibu Dewi – dua guru Bahasa Inggris yang selalu menyemangati saya untuk terus mengasah kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris. Tidak lupa para guru ekspat di tempat kursus Bahasa Inggris saya dulu.
            Mungkin yang paling berjasa menginspirasi saya untuk menjadi seorang guru Bahasa Inggris adalah teman saya, Paco (Patrick Mitchell Compau). Melihatnya mengajar Bahasa Inggris lewat metode bermain di sebuah klub Bahasa Inggris yang pernah saya ikuti dulu membuat saya kemudian tertarik dengan profesi tersebut.
            Tulisan ini saya persembahkan untuk semua guru terbaik. Berkat kalian semua, saya menemukan dan mempertahankan dua ‘cinta sejati’ saya dalam hidup, yaitu mengajar dan menulis.

            R.

            (Jakarta, 17 November 2015 – 18:10)

"RELAKANLAH..."

Jangan terus terjaga, sayang
Malam bukan untuk menyiksa badan
apalagi sampai meratapi kemalangan
Hidup tidak sama dengan keabadian
hanya usaha mempertahankan ingatan

Saatnya lelap, sayang
Mungkin esok akan berbeda
Untuk saat ini, biarlah duka meraja
Saat sudah reda,
mungkin akan terkenang yang indah-indah saja
berharap tanpa perlu ada luka...

R.
(Jakarta, 17 November 2015 - 17:45)

Senin, 16 November 2015

"ANDAI SAJA (CUMA FILM)"

"Movies copy real life. Sometimes it's just the other way around."
(Film mencontek kehidupan nyata. Kadang sebaliknya.)
"Alaah, gitu aja cengeng. Cuma film."
Sering mendengar komentar miring seperti itu saat menonton film? Mungkin ada adegan yang bikin kita sampai menitikkan air mata. Ada juga adegan yang bikin ngeri - seperti kekerasan misalnya - sehingga kita ditertawakan gara-gara berjengit karena takut.
Mungkin waktu kecil kita kerap bertanya-tanya apakah semua yang di film dapat juga terjadi di dunia nyata. Mungkin lagi-lagi orang tua (dan orang dewasa lainnya) hanya akan menertawakan kepolosan kita.
"Ah, itu cuma di film."
Tuh, 'kan?
Beranjak dewasa, kita makin disuguhi beragam fakta. Ya, film memang dapat mencontoh kehidupan nyata. Makanya suka ada disclaimer : "based on a true story" (diangkat dari kisah nyata) sebelum film tersebut tayang. Bisa juga sebuah film fiksi terinspirasi dari kisah-kisah nyata yang kemudian dijadikan contoh kasus. (Seperti film "Eight Below" - nya mendiang Paul Walker atau serial "Criminal Minds" yang betulan terinspirasi dari para FBI profiler di Quantico, Virginia, dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan berantai yang kerap di luar akal sehat kejamnya.)
Manakah yang lebih mengerikan, film yang terinspirasi dari kisah nyata - atau sebaliknya? Haruskah kita menyalahkan para sineas dan pembuat serial televisi, bukannya penonton yang baik nalar maupun nuraninya sama-sama terganggu? Contoh: pernah ada pembunuh lolos gara-gara metodenya mengikuti salah satu episode serial "CSI:Miami" hingga sosok bertopeng Joker - musuh Batman yang menembaki para penonton satu ruang teater dalam bioskop.
Ada juga yang tidak mudah terpengaruh setelah banyak menonton film-film beradegan kekerasan. Cuma film, begitu prinsip mereka. Tidak perlu ditiru. Tidak ada gunanya begitu. Lain cerita bila filmnya mengajarkan kebaikan, seperti "Pay It Forward" - nya Haley Joel Osment dan Kevin Spacey. (Percaya atau tidak, masih banyak yang melakukannya hingga kini - hanya suka luput dari mata media hingga jadinya malah dianggap biasa saja.)
Masih ada juga yang tidak bisa membedakan antara 'hanya film' dengan 'dunia nyata' - dan ini bukan hanya asumsi bahwa si aktor pasti sama saja kepribadiannya dengan peran yang dia mainkan dalam film tertentu. Makanya sampai ada yang bawa-bawa tanggung-jawab moral segala.
Dunia nyata sekarang makin terasa luar biasa, jauh melebihi film-film yang ada. Banyak berita yang jadi buktinya. Jujur saja, saya ini - dengan naluri dan harapan saya yang kadang masih rada kekanak-kanakan, terutama bagi banyak orang - masih berharap semua itu hanya film, bukan kejadian nyata. Tidak ada bencana alam seperti gempa. Tidak ada peperangan yang sampai harus mengusir banyak orang dari tempat tinggal mereka, hingga anak-anak mereka tersapu ke pantai di negeri orang tanpa nyawa. Tidak ada terorisme. Tidak ada penembakan di tempat umum yang kini membuat makin banyak orang was-was saat keluar rumah. Tidak ada nyawa melayang dan duka beruntun. Tidak ada amarah, tuduhan, hingga dendam tak berkesudahan. Semua baik-baik saja dan bahagia. Tidak ada lagi yang sampai (harus) terluka.
Saya salah...

R.
(Jakarta, 15 November 2015 - 9:30)

Minggu, 15 November 2015

"HENTIKAN!"

Hentikan!
Aku sudah lelah dengan semua ini
muak dengan segala kekerasan
sakit yang tanpa henti

Hentikan!
Mau sampai kapan kita semua begini?
Lagi-lagi ajang mencari kesalahan
tiada beda dengan yang memang ingin menyakiti

Hentikan!
Kekerasan hanya menghasilkan benci
Kembalikan damai di hati
Sembuhkan semua luka ini

R.
(Jakarta, 14 November 2015 - 14:14)

Jumat, 13 November 2015

"MATA BIRU FELICITY"

“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak dipandang, bukan?”
            Kulirik abang kembarku dengan perasaan sebal. Wajah lonjongnya yang berkulit pucat tampak cerah. Mata besarnya yang mirip sekali dengan mataku semakin belo karena kesenangan.
            Fajar, abangku, menatapku. Mungkin juga karena kita juga kembar, hanya beda lima menit pula. Saat dia nyengir jahil, tatapanku jatuh pada sepupu kami Firas. Tidak seperti kami berdua, Firas pendek, gempal, dan badungnya minta ampun. Seringainya justru jauh lebih menyebalkan meski sudah kutatap dengan sedemikian tajam.
            “Awas kalau kamu ngajakin dia yang enggak-enggak!” ancamku sambil menuding wajahnya. Bukannya takut, bocah kuliahan berusia 19 tahun itu hanya terus cengar-cengir.
            Kami pun berpisah. Aku kembali ke kamar hotelku sendirian dengan hati dongkol, sementara Fajar dan Firas memasuki salah satu klub malam paling hip di kota itu. Entah ada apa di dalam sana, aku tidak tahu. Jujur, aku juga tidak mau tahu, meski diam-diam masih mencemaskan nasib abang kembarku. Maklum, Fajar masih bocah yang relatif alim – beda banget sama Firas yang hobi keluyuran di dunia malam.
            Ah, sudahlah. Biar mereka saja yang bertanggung-jawab dengan pilihan mereka. Saatnya lebih mengurus dosa masing-masing.
            Dengan pikiran gelisah, aku jatuh tertidur...
---***---
            “Dia cewek tercantik yang pernah kulihat, Tar.”
            Kutatap abangku yang masih polos itu dengan perasaan separuh skeptis, separuh mengantuk. Pagi itu, kami berdua tengah sarapan di kafe lantai bawah hotel tempat kami menginap. Firas masih tidur di kamar mereka, jadi hanya Fajar yang turun untuk sarapan. Palingan sepupu kami yang badung itu akan terbangun siang ini dengan hangover. Parah benar.
            “Emang bener matanya sebiru itu?” tanyaku penasaran. Fajar mengangguk mantap.
            “Felicity blasteran Indo-Amrik,” katanya dengan tatapan terpesona, mungkin karena sambil membayangkan cewek yang ditemuinya di klub semalam. “Ternyata dia juga tinggal di hotel ini. Nanti dia mau ke sini. Kita mau jalan-jalan bareng keliling kota. “Mau ikut?”
            “Hah?” Astaga, cewek macam apa yang menghampiri cowok duluan – pas baru kenal pula? Oke, mungkin aku konservatif, tapiii...
            “Fajar!” Seorang cewek berlogat asing muncul di depan pintu kafe, melambai pada abangku dengan senyum ceria. Memang, dia cantik sekali. Wajah ovalnya yang berkulit pucat dibingkai rambut pirang sebahu dan bermata biru cemerlang sempurna. Dia lebih mirip peri cerita dongeng daripada manusia biasa, menurutku. Aneh.
            Setelah mengenalkan Felicity padaku, aku setuju ikut mereka jalan-jalan keliling kota. Entah kenapa, ada rasa curiga. Cewek itu baik sih, tidak hanya mau mengobrol dengan Fajar sementara aku dicuekin. Mungkin juga dia terpaksa gara-gara abangku mengajakku. Mungkin diam-diam dia hanya mau mereka berdua.
            Tidak masalah bagiku. Namun, siang itu seseorang menyenggol Felicity tanpa sengaja di tengah kerumunan. Sambil menjerit panik, cewek itu buru-buru berlutut dan seperti mencari-cari sesuatu. Fajar dan aku langsung membantu.
            “What’s wrong?” tanya Fajar penasaran. Felicity masih menunduk ke lantai sebelum Fajar bergeser dan tiba-tiba terdengar bunyi ‘krak’ halus.
            Felicity terkesiap dan mendongak. Saat itulah kami berdua melihatnya. Entah kenapa, aku jadi ingin ketawa.
            Satu matanya tidak sebiru sebelumnya, melainkan coklat gelap biasa...

            Fajar masih bengong, sementara Felicity langsung ambil langkah seribu. Tidak kusangka, hari gini masih ada juga cewek minder dengan fisiknya sendiri...


“PERIHAL ‘ANAK KESAYANGAN’ DAN ‘YANG (BIASA) TERABAIKAN"

Tulisan ini terinspirasi dari artikel berjudul “Equal Treatment” karya Sebastian Partogi yang dimuat di Sunday Jakarta Post pada 28 Desember 2014 lalu. (Lama juga.) Bukan hanya perkara gender, namun judul artikelnya berkaitan dengan perhatian orang tua yang ‘terbagi’ dengan ‘kurang adil’ akibat ‘favouritism’, sehingga menimbulkan kecemburuan antar anak.
            Tidak ada orang tua yang sudi dituduh main pilih-kasih dalam membesarkan anak-anak mereka. (Ya, iyalah!) Apalagi peran mereka sudah berat dan mereka hanya manusia yang tidak sempurna.
            Namun, sadar tidak sadar – ada saja ortu yang suka ‘lalai’ – hingga terlalu fokus pada satu anak dan cenderung melupakan anak-anak lainnya. Beberapa ciri-cirinya antara lain:
-       Lebih memperhatikan anak yang satu daripada yang lainnya, hingga ada yang – ekstrim - sampai lupa menjemput mereka di sekolah hingga lupa nama dan tanggal ulang tahun.
-       Hobi membanding-bandingkan, baik dengan saudara maupun anak-anak lain di sekolah. (“Kenapa kamu nggak bisa seperti kakak/adik/teman kamu yang lebih pintar/rajin/dll.?”)
-       Ekstrim dengan ‘terlalu’, seperti: terlalu membebaskan/mengekang, terlalu memaklumi/mengkritik, terlalu memanjakan/mengabaikan, terlalu lembut/kasar, hingga ‘terlalu-terlalu’ lainnya.

Apa sebabnya?
Penyebabnya bisa macam-macam, tidak hanya idealisme ortu mengenai ‘anak sempurna’. Beberapanya adalah:
-       Perbedaan gender, terutama pada keluarga yang menganut sistem patriarki yang sangat kental. Anak laki-laki seakan mendapat keistimewaan lebih, seperti: lebih didengar, pendapatnya lebih dihargai, tidak kena jam malam saat keluar rumah, dan sebagainya.
-       Salah satu anak memiliki ‘kebutuhan khusus’  atau menderita sakit parah, hingga mau tidak mau butuh perhatian khusus. (Kalau begini ya, sudahlah.)
-       Gender minoritas, misalnya anak laki-laki/perempuan satu-satunya dalam keluarga. Kurang-lebih seperti poin pertama, dimana si anak seakan mendapatkan keistimewaan lebih – seperti lebih dimanja dan dituruti semua permintaannya.
-       Mengira bahwa membanding-bandingkan si A (yang dianggap serba ‘plus’/ baik) dengan si B (yang dianggap serba ‘kurang’) dapat membuat si B mencontoh si A, bukannya malah jadi antipati hingga benci setengah-mati.
-       Anak yang (terlalu) diperhatikan sebenarnya biang masalah, sehingga lebih menyusahkan dan menyita perhatian ortu daripada anak-anak yang (tidak sengaja?) terabaikan. Dengan kata lain, sebenarnya dia bukan ‘anak kesayangan’, melainkan beban hidup ortu.
Pengakuan mereka:
Maaf, berhubung bukan psikolog, barangkali ada sebab-sebab lain yang terlewat mata awam saya. Beberapa poin di atas ada yang dikumpulkan juga dari ‘riset lapangan’ – alias mendengarkan curhat orang:
“Kadang gue berharap gue anak laki-laki. Abang gue enak banget – bebas keluyuran, sementara gue kalo malem udah harus di rumah dan kemana-mana harus pake izin. Kalo perlu ditemenin. Pas dapet beasiswa ke luar negeri, cuma Abang gue yang dibolehin pergi – padahal nilai-nilai gue juga bagus. Lebih bagus dari Abang gue malah! Gue juga gak pernah didengerin, mentang-mentang gue anak perempuan. Mungkin gue baru dihargain kalo udah operasi ganti kelamin.” (Adel*)
            “Adek gue yang cewek selalu bisa bikin orang jatuh kasihan sama dia dengan air mata buaya. Giliran gue yang nangis beneran malah dikatain banci ama bokap.” (Badu*)
            “Abang gue disayang banget ampe jadi nakal dan sering nyusahin semua orang. Dulu gue ampe harus pinjem ortu temen buat ngambil rapor gue di sekolah, sementara ortu kandung gue sibuk ngebujuk kepala sekolah agar gak men-D.O Abang gue. Sekarang lihat, dia malah gak jadi apa-apa dan masih aja nyusahin orang.” (Cendika*)
            “Ortu gue gak pernah adil ama gue. Gue kayak gak pernah punya hak bersuara di rumah ini. Semua selalu harus ngikutin maunya mereka, kayak mereka udah yang paling bener sedunia. Beda banget ama adek gue yang harus selalu diturutin dan dibelain, makanya jadi kurang ajar – terutama ama gue. Bayangin, masa dia pernah bilang kalo ortu tuh, sayang ama gue kalo lagi ada maunya doang? Sakit hati banget gak, sih? Kalo emang bener gitu, coba mereka semua hidup tanpa gue sehari aja. Bakal kehilangan, gak?” (Dami*)
            “Yang nggak ngerti mungkin akan hanya menghakimi gue sebagai anak durhaka yang mengabaikan keluarga. Ya, gue memutuskan untuk tinggal sendiri karena lelah melihat nyokap begitu mengistimewakan kakak. Kakak selalu menyita perhatian semua orang. Kalo ada dia, gue jadi gak pernah keliatan atau kayak gak dianggap. Semua hanya fokus pada maunya dia doang, kalo nggak dia bakalan marah-marah. Gak apa-apa deh, gue ngalah dan menyingkir aja. Gak masalah gue sendirian, asal dia gak merecoki hidup gue dengan harus nurutin semua agendanya. Dia boleh ambil orang serumah untuk dia semua!” (Emma*)
            Para ortu mungkin akan sakit hati dan menjadi defensif saat membaca ini. (Bahkan, meski bisa jadi ini suara hati terpendam salah satu anak Anda.) Sebelum menuduh saya (yang kebetulan belum pernah jadi ortu) sok tahu dan menggurui, coba perhatikan lagi pola pengasuhan Anda selama ini dan interaksi Anda dengan tiap anak. Apakah Anda hanya benar-benar mengenal satu anak sementara saudara-saudaranya tampak dan terasa asing bagi Anda? Apakah ada anak yang terang-terangan menuduh Anda pilih-kasih/tidak adil atau malah jadi pendiam dan cenderung menarik serta menutup diri?
            Apakah sering timbul pertengkaran antar-saudara, namun Anda malah cenderung selalu membela yang satu dan menyalahkan yang lain? Apakah anak Anda sering terlihat berusaha menjatuhkan, menyakiti, dan bahkan mencelakakan saudaranya sendiri – bahkan meski mereka sudah masuk usia remaja dan dewasa? Apakah ada rasa benci di mata mereka?
            Apakah salah satu anak Anda suka menyakiti diri sendiri atau bahkan mencoba bunuh diri?
            Masih menganggap sepele masalah ini? Masih menganggap semua protes anak Anda sebagai tanda mereka terlalu manja, cengeng, sensitif, dan berlebihan?
            Bagi yang menjadi ‘anak kesayangan’, belum tentu mereka beruntung. Belum tentu juga mereka senang. Bisa jadi mereka malah jadi jatuh kasihan dengan saudara mereka, seperti pengakuan seorang teman di bawah ini:
            “Bukannya jahat, tapi jujur...gue lega banget pas adek gue beda SMA sama gue. Bukan apa-apa, gue kasihan kalo dia ampe harus selalu hidup dalam ‘bayang-bayang’ gue. “Eh, lo adeknya Fajar? Kok beda?” Pasti ditanya gitu dan gue gak mau. Gue bahkan backing-in dia dengan ngomong ke ortu: ‘Jangan suka banding-bandingin dia dengan saya atau anak-anak lain. Biarkan dia punya dunia sendiri, biarkan dia berkembang dengan caranya sendiri.” (Fajar*)
            Perihal ‘Anak Kesayangan’:
            Sayangnya, anak yang terlalu ‘diistimewakan’ kemungkinan besar malah akan jadi seperti ini:
-       Mereka akan tumbuh dengan kepercayaan bahwa mereka berhak mendapatkan semua keinginan mereka dan melakukan apa pun yang mereka suka. Mereka akan cenderung memandang rendah orang lain karena hanya menganggap diri mereka yang penting.
-       Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak ‘tangguh’, karena terlambat menyadari bahwa dunia nyata tidak selalu ‘seramah’ kasih-sayang ortu. Bagus kalau mereka buru-buru sadar untuk segera berubah. Kalau tidak? Alamat cepat patah arang dan akhirnya malah hobi merepotkan orang lain...tak hanya ortu. Kalau sudah begini, bagaimana ortu bisa menikmati masa pensiun dengan tenang?
-       Mereka jadi tidak kenal tanggung-jawab dan berperilaku narsisistik. (Bukan yang hobi foto selfie di social media, ya!) Mereka egois dan selalu merasa paling benar sendiri. Di mata mereka, semuanya selalu salah orang lain.
-       Mereka hanya mau berteman dengan orang-orang yang mengagumi mereka alias fanatik buta.
-       Tidak terima bahwa dunia tidak selalu sesuai kemauan mereka, yang ada mereka berpotensi jadi pelaku kekerasan. Kalau tidak, mereka juga bisa jadi culas, memanipulasi orang lain dengan segala cara agar tujuan mereka tercapai – tanpa peduli bahwa akan ada orang lain yang terluka atau dirugikan.
-       Kriteria pasangan sempurna menurut mereka: yang mau menerima mereka apa adanya, menuruti semua keinginan mereka, dan tidak pernah membantah/menuntut apa-apa.
-       Berpotensi menjadi sasaran kemarahan saudara-saudara yang merasa kekurangan kasih-sayang ortu mereka. Ekstrimnya, bahkan sampai ada yang berusaha membunuh mereka, lho!
-       Kemungkinan besar akan melanjutkan pola pengasuhan serupa pada anak-anak mereka sendiri kelak. Bisa dibayangkan jumlah monster yang mengaku manusia semakin bertambah!
Perihal anak yang (merasa) ‘terabaikan:
Bagaimana dengan anak-anak yang (merasa) ‘terabaikan’? Bersyukurlah bila mereka cukup sabar dan tangguh meski sering atau selalu dinomorsekiankan oleh ortu sendiri. Mengapa? Ciri-ciri mereka seperti ini:
-       Lebih mandiri dan lebih percaya diri. Mereka sebisa mungkin malah tidak akan menyusahkan orang lain.
-       Lebih menghargai orang lain. Mau berteman sama siapa saja, karena sadar rasanya saat tidak menjadi pusat perhatian siapa pun.
-       Lebih cepat dewasa dan tahu tanggung-jawab. Tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan, kalau bisa lebih fokus pada mencari solusi dari masalah yang ada. Anti drama.
Sayangnya, kadang sakit hati yang sudah kepalang dipendam anak-anak yang (merasa) ‘terabaikan’ juga berpotensi menjadikan mereka seperti ini:
-       Menjauh, memilih menyendiri. Lebih memilih tinggal sendiri atau kerabat atau teman yang lebih mengerti. Bahkan, ada juga yang sengaja ‘memutuskan’ kontak emosional dengan ortu dan saudara yang mereka anggap ‘anak kesayangan’.
-       Jarang/enggan berbagi cerita, karena merasa selama ini mereka merasa kurang berharga untuk didengar. Bila mereka jatuh sakit/kecelakaan, belum tentu nomor HP ortu atau saudara ada di daftar speed dial mereka.
-       Mencari perhatian dari orang lain di luar rumah. Syukur-syukur ketemu teman-teman baik. Kalau tidak? Alamat terancam pergaulan bebas, seperti: memakai narkoba hingga melakukan hubungan seks bebas.
-       Tidak semangat menjalani hidup. Untuk apa berprestasi bila ortu tidak juga peduli?
-       Rentan depresi, seperti sering murung, mengeluh sakit, suka mendadak menangis tanpa sebab jelas, hingga mudah mengalami gangguan pola makan/eating disorder. (Misalnya: menjadi penderita anoreksia atau bulimia agar bisa kurus seperti kakak yang dianggap lebih cantik oleh ortu dan orang-orang sekitar.) Yang paling parah? Menyakiti diri sendiri hingga usaha bunuh diri!
-       Kalau gagal punya teman banyak (apalagi hanya dengan tujuan agar bisa sepopuler saudara mereka), mereka memilih jadi anti-sosial. Semua karena rasa minder, seperti: sulit percaya kalau dirinya menarik, berharga, dan patut disayangi. Sulit percaya kalau sebenarnya masih banyak yang sayang sama mereka. Dari segi agama, mereka bisa jadi meragukan Tuhan atau menganggap Tuhan tidak adil.
-       Kriteria pasangan sempurna menurut mereka: “Kira-kira seberapa tahan ya, dia sama aku yang kayak gini?” atau “Emang ada yang mau sama aku?”
-       Jadi over-achiever: gila pengakuan lewat usaha keras agar lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal, dan ‘lebih-lebih’ lainnya – namun dengan alasan yang salah: agar ortu berhenti mengidolakan si ‘anak emas’ dan mulai fokus pada mereka. Pada akhirnya mereka juga tidak benar-benar bahagia.
-       Selalu mencari cara agar dapat menyakiti si ‘anak kesayangan’. Ada juga yang sampai berusaha membunuh sosok yang mereka anggap rival dalam merebut perhatian ortu.
-       Punya ketakutan bahwa suatu saat mereka – sadar tidak sadar – akan berlaku sama pada anak-anak mereka sendiri kelak. Ada yang sampai memutuskan untuk tidak punya anak sama sekali.
Solusi:
Selain cara yang tertulis dalam artikel “Equal Treatment”, ada beberapa cara lain yang dapat dicoba para ortu:
-       Sediakan waktu berdua saja dengan tiap anak agar Anda dapat lebih mengenal mereka semua, bukan hanya salah satunya.
-       Mulailah lebih tegas – kalau perlu tega – sama anak yang selama ini terlalu menuntut perhatian Anda dan enggan berbagi dengan saudara-saudara mereka. Ingat, Anda tak bisa selamanya ada untuk mereka. Kalau Anda memanjakan mereka terus, kapan mereka dewasa?
-       Ayolah, Anda bukan manusia super atau sosok sempurna. Minta maaflah bila salah, terutama bila anak Anda terluka karena selama ini Anda abaikan perasaan dan keinginan mereka, apalagi tanpa alasan jelas. Diam bukan berarti mereka tidak apa-apa. Ada kalanya mereka hanya ingin ditanya dan diajak bicara, bukan dihakimi sesuka Anda.
-       Dukunglah mereka mencapai impian mereka (selama masih positif) dengan antusiasme yang sama. Misalnya: mungkin Anda dan si sulung sama-sama suka olah raga dan Anda sering memberinya semangat sebelum bertanding. Tak ada salahnya bila Anda juga mendukung si bungsu ikut Olimpiade Fisika, meski Anda tidak selalu mengerti semuanya.
Untuk ‘anak kesayangan’:
-       Jangan senang dulu. Bisa saja sebenarnya kalian yang paling menyusahkan orang tua.
-       Tahu dirilah. Banyak-banyak berterima kasih pada ortu yang sudah kalian repotkan...dan saudara-saudara yang ‘terpaksa’ mengalah karena ortu lebih memperhatikan kalian.
-       Jangan keenakan. Takutnya kalian nggak siap mandiri dan memegang tanggung-jawab bila tiba-tiba ditinggal sendirian. Jangan lantas malah merepotkan orang lain. Ingat, hidup ini bukan hanya tentang kalian.
-       Tidak perlu sombong dan jangan berhenti belajar. Bisa jadi selama di rumah kalian (merasa) berkuasa – terutama karena dukungan penuh ortu. Bisa jadi, di luar sana kalian malah bukan siapa-siapa maupun apa-apa.
Untuk anak-anak yang selama ini (merasa) ‘terabaikan’:
-       Saatnya memutuskan kebahagiaan hidup sendiri. Keuntungannya, kalian secara tidak langsung telah diberi kesempatan untuk mandiri dan dewasa lebih cepat.
-       Gagal didengar ortu setelah berusaha? Libatkan pihak ketiga yang bisa netral – sama-sama dikenal ortu dan kalian dan bisa objektif dalam menangani masalah. Entah itu kerabat atau teman.
-       Tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan hidup. Belajar, bekerja, dan berprestasilah untuk kemajuan dan kebahagiaan diri sendiri.
-       Merasa benci diri sendiri? Jangan. Justru kalian-lah yang akan rugi. Carilah peran kalian di dunia ini yang positif. Jadikan itu alasan kalian untuk hidup, entah menjadi relawan di lembaga sosial atau minimal menolong binatang peliharaan terlantar, misalnya.
-       Ingin bahagia? Cobalah ‘berdamai’ dengan masa lalu. Bila merasa masih sulit memaafkan (apalagi bila kasusnya sudah termasuk penyiksaan anak/’child abuse’), tidak perlu memaksakan diri untuk berinteraksi dengan keluarga dulu. Fokuslah pada hal-hal terbaik dalam hidup kalian sekarang, seperti: Tuhan, pekerjaan, dan mungkin sosok-sosok manusia lain yang menyayangi kalian apa adanya.
-       Jangan pernah berpikir kalau kalian selalu sendirian di dunia ini. Banyak yang senasib – mungkin malah lebih buruk. (Tenang, ini bukan kompetisi.) Sering-seringlah memandang ke bawah daripada ke atas agar senantiasa bersyukur.
Seperti biasa, mohon maaf bila tulisan ini menyinggung.
R.
(Jakarta, 27 Oktober 2015 – 16:00)
(*Semua nama sengaja disamarkan.)


Kamis, 12 November 2015

"PAHLAWAN SEHARI-HARI?"

Ini bukan maksud mengecilkan sosok pahlawan – atau bahkan makna kepahlawanan itu sendiri. Ini tentang realita, dimana sebenarnya banyak sekali pahlawan sehari-hari – namun kita kerap abai dan lalai. Bahkan, celakanya banyak yang malah tidak peduli.
            Kita sudah terlalu terbiasa dengan gambaran sosok ‘pahlawan’ yang bombastis seperti gambaran media massa. Persis kepercayaan saya waktu kecil dan belajar sejarah dari buku-buku di sekolah. Pahlawan pasti yang bisa menggunakan senjata, jago berkelahi, pemberani, tidak takut mati, dan selalu membela yang lemah.
            Sayangnya, ada juga tambahan perspektif patriarki: pahlawan itu (pasti) laki-laki! Lalu bagaimana dengan perempuan? Kalau pun ada, waktu itu yang dianggap memenuhi syarat-syarat mutlak di atas di antaranya seperti: Cut Nyak Dien dan Maria Christina Tiahahu. Yang lain?
            Oke, ada juga pahlawan intelektual. Sebut saja R.A. Kartini, Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara, Budi Utomo, Multatuli, dan masih banyak lagi. Kalau yang sekarang bisa disebut salah satunya B.J.Habibie.
            Mungkin inilah yang membuat banyak pemuda kita ingin masuk kepolisian atau angkatan bersenjata. Mereka ingin jadi pahlawan, berbakti membela negara, dan melindungi yang lemah. Bagus, bila memang disertai niat yang tulus. (Seperti pahlawan asap di Riau, misalnya.)
            Lain cerita bila banyak yang masih salah kaprah dengan arti ‘pahlawan’, seperti menyamakannya secara mentah-mentah dengan ‘jagoan’. Ya, yang seperti di film-film aksi laga, yaitu: pakai senjata, jago berkelahi, pemberani, tidak takut mati, dan selalu dapat puja-puji. Selalu membela yang benar? Belum tentu. Salah-salah mereka malah jadi pelaku kekerasan, terutama saat memaksakan kehendak dan karena gila pengakuan. Sangat merusak arti pahlawan sesungguhnya, bukan?
            Bagaimana dengan para pahlawan lainnya? Ibu-ibu yang memasak tanpa henti agar para tentara dapat makan dengan kenyang dan kuat berperang? Atau mereka yang langsung turun-tangan saat bencana datang, bahkan tanpa sokongan dana maupun pengakuan dari mata dunia?
            Para ortu, guru, teman, atau mungkin sosok yang kita sering temui sehari-hari? Saya percaya, meski dengan tindakan sekecil apa pun – bahkan yang mungkin dianggap remeh orang lain – semua berpotensi menjadi pahlawan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Resepnya sederhana, namun seringkali sulit diterapkan:
            Rela tanpa pamrih.
            Kita mungkin memuji para guru seperti dalam lirik “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Kita juga familiar dengan istilah “Pahlawan Devisa” bagi para TKI (tenaga kerja Indonesia) yang berjibaku ke luar negeri, meninggalkan keluarga dan tanah air untuk mencari penghasilan – bahkan kerap dengan taruhan nyawa. Atau “Pahlawan Budaya” untuk sosok seperti Pak Raden – nya “Si Unyil”.
            Lalu, bagaimana dengan sosok-sosok lain yang sebenarnya juga berjasa, namun kerap luput dari perhatian media hingga malah dianggap biasa saja? Pertanyaan retoris ini membuat jadi pahlawan tidak mudah. Bukan kita yang menggelari diri sendiri pahlawan, namun mereka yang mungkin menganggap kita demikian. Bahkan, yang sering terjadi adalah seseorang baru dianggap pahlawan setelah mereka tiada.
            Dan banyak juga yang malah dilupakan, padahal jasa mereka tiada duanya...
            Semoga kita termasuk yang menghargai jasa para pahlawan, bahkan saat mereka tak bernama. Bagaimana kalau kita sendiri bercita-cita menjadi seorang pahlawan? Mampukah kita TIDAK melakukan tiga hal sederhana di bawah ini?
1.    Mencari pengakuan dan pujian setelah berbuat baik.
2.    Bertanya-tanya (bahkan meski dalam hati): “Ada untungnya gak ya, buat saya?”
3.    Marah-marah saat tidak ada yang memperhatikan dan menghargai hasil jerih-payah kalian.

Jika bisa, selamat. Mungkin Anda termasuk pahlawan sejati yang semoga tidak makin langka akhir-akhir ini...


R.