Selasa, 29 Maret 2016

"MAU (DIAJAK) HIDUP SUSAH?"

Mungkin tulisan ini berpotensi menyinggung Anda yang masih percaya dengan "pakem" (yang menjadi judul) di atas. Saya hanya mencoba menawarkan sudut pandang lain dari penawaran di atas.
Mau hidup susah? Mau diajak hidup susah? Siapa sih, manusia normal yang mau? Jujur saja, deh.
Ini bukan perkara moral, kebaikan, keikhlasan, gengsi, atau apalah namanya. Ini juga tidak selalu berkaitan dengan kondisi ekonomi, kelas sosial, atau situasi finansial seseorang.
Ini masalah pola pikir. Sebelum menuduh semua cewek yang pernah menolak tawaran Anda ini sebagai "manja", "pasti matre", "sombong", "terlalu banyak menuntut", atau "tidak bisa menerima cowok apa adanya" (tapi bisa nggak, Anda menerima cewek apa adanya?), coba bayangkan Anda jadi orang tua seorang anak perempuan. Putri Anda yang sudah dewasa dilamar. Saat cowok yang sudah berani melamarnya lantas Anda ajak bicara, mungkin Anda akan menanyakan hal ini:
"Apa harapan kamu dengan menikahi putri kami?"
Lalu cowok itu dengan pedenya menjawab begini: "Kebetulan, saya mencari seorang pendamping yang bersedia hidup bersama saya, meski susah / mau diajak hidup susah..."
*mendadak hening*
Krik...krik....krik.....krik......
Jujur, bila saya orang tua si cewek, saya bakal ragu menerima si cowok. Bukan apa-apa, saya tidak rela. Wong, anak perempuan sudah diasuh sedemikian rupa, dengan bekal gizi, pakaian, pendidikan, dan hal-hal terbaik lainnya yang bisa diberikan semua orang tua yang sayang, dengan harapan si anak akan menyongsong masa depan yang lebih baik. Mana ada orang tua yang sudi melihat anak mereka jauh lebih susah? (Lain cerita kalau si anak tidak keberatan atau memiliki pandangan hidup yang sama.)
Percaya atau tidak, pilihan kata sangat berpengaruh secara psikologis dengan yang mengucapkannya. Bukannya tidak mau melihat kenyataan atau ibarat "memberi gula pada kopi yang pahit", ya. Secara tidak sadar, kata "susah" yang diucapkan tersebut menggambarkan cara seseorang memandang hidupnya.
Memang, ada yang menyarankan agar selagi muda menikahlah, meski (secara finansial) belum mapan-mapan amat. Alasannya beragam, mulai dari: romantis (makan sepiring berdua atas nama penghematan sebenarnya, bukan ROkok-MAkaN-tidur-graTIS!), biar dapat menguji kekuatan dan kesetiaan cinta bersama (jiahh!), hingga bisa merasakan perjuangan bersama dalam membangun dan mempertahankan keluarga (biar nanti jadi kisah indah sejarah mereka bersama yang bisa diceritakan kepada anak-cucu kelak), dan belajar tetap saling mencintai dan menyayangi - bahkan dalam kondisi paling sederhana sekali pun.
Tidak ada yang salah dari keinginan mulia itu. Intinya, menikah itu berjuang untuk membentuk keluarga bersama, bukan? Bolehlah merasa senang dan bangga, karena kuat bertahan hidup di tengah segala kesusahan yang Anda alami. Namun, janganlah lantas cepat puas dan merasa tidak perlu meningkatkan taraf hidup lagi dengan alasan "sudah terbiasa hidup susah". Ingat, hati manusia bisa berubah. Hidup tidak hanya cukup dengan (mengandalkan ucapan) cinta. Kalau memang beneran cinta, pasti mau dong, terus berusaha mensejahterakan keluarga, alias tidak di situ-situ saja? Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk lebih mapan. Wajib malah! Dengan lebih mapan, Anda malah lebih berdaya dan berguna. Bisa membantu lebih banyak orang. Ya, 'kan?
Lelaki1: "Sama aku aja. Hidupmu pasti enak. Akan kuberikan segalanya..."
Lelaki2: "Sepertinya kamu orang yang tepat untuk berjuang membangun hidup bersama..."
Lelaki3: "Mau nggak kamu diajak hidup susah denganku?"
...daaan, saya memilih Lelaki2. Mengapa? Lelaki3 sih, sudah pasti tidak lolos. Maaf, ya. Agak mengkhawatirkan.
Lelaki1 kesan awalnya menyenangkan, namun penuh rayuan gombal. Selain tidak mungkin dia memiliki 'segalanya' (wong manusia juga!), cara menawarnya mirip barteran berat. Entah kenapa, bikin tidak nyaman. Salah-salah imbalannya lebih berat. "Kuberikan segalanya, asal kamu menuruti semua mauku tanpa banyak tanya atau pun protes." Hiii, memangnya perempuan tidak boleh punya kemauan sendiri?
Menakutkan. Kalau memang mau ikhlas memberi mah, tidak perlu obral janji.
Lelaki2 terdengar cukup menenangkan dan paling realistis. Mengapa? Menenangkan, karena kata "berjuang bersama" menyatakan bahwa dia tidak hanya memandang saya sebagai pengikut belaka atau bahkan sebelah mata, melainkan rekan setara dan teman diskusi (sekaligus mungkin bisa gantian menjadi pelipur lara, hehe.) Dia memandang saya sebagai sosok manusia utuh, bukan pelengkap semata - apalagi sekedar pemuas napsu belaka. Hiiih!
Realistis? Roda kehidupan selalu berputar. Kadang kita di atas, kadang di bawah. Ada senang dan susah. Kalau ada sandungan atau rintangan (mungkin yang segede pohon raksasa yang tumbang di jalan), hadapi sama-sama dengan "semangat juang", bukan sekedar "rela hidup susah". Terasa sekali kok, bedanya.
Masih mau (mengajak/diajak) hidup susah?
R.
(Jakarta, 28 Maret 2016 - 16:45 )

"TRANSPORTASI PUBLIK DI MATA PENGGUNA"

Mengapa saya sudah lama tidak naik angkot lagi? Selain tinggal di area yang tidak banyak angkot, saya juga tidak perlu memakainya. Kekurangan angkot: supirnya hobi ngetem sembarangan dan suka lama pula. Kasihan yang lagi terburu-buru dan takut telat.
Bagaimana dengan bus dan Trans-Jakarta? Mungkin masih ada yang suka mengejek: "Manja banget sih, lu!", "Dasar cemen!", atau yang lebih nyinyir lagi: "Pasti lu anak orang kaya, deh. Gak bisa panas-panasan dikit. Maunya yang enak dan nyaman terus." Lha, terus kenapa kalau memang benar? Logis dong, bila konsumen ingin pakai yang lebih nyaman dan menguntungkan buat mereka?
Jujur, saya lebih sering menggunakan Trans-Jakarta ketimbang bus biasa. Selain tidak perlu melihat pengamen bertato yang cenderung meminta uang dengan cara memaksa (apalagi sama penumpang perempuan), tidak begitu ada risiko telat ke tempat tujuan hanya gara-gara bus biasa supirnya kelamaan ngetem di sembarang tempat atau mendadak diturunkan di pinggir jalan, padahal belum sampai tujuan. (Alasannya ada saja.) Yang paling menyebalkan? Penumpang suka mendadak dioper ke bus lain, seringnya yang jauh lebih penuh daripada bus sebelumnya.
Sebelumnya, saya sudah pernah menulis tentang ojek pangkalan dengan ojek berbasis aplikasi, jadi bisa juga dibaca di sini: http://ruangbenakruby.blogspot.co.id/2015/06/pengalaman-buruk-menggunakan-jasa-ojek.html
Oke, banyak cerita, spekulasi, komentar, hingga cacian (terutama di social media) mengenai demo supir taksi konvensional kemarin sebagai protes terhadap kehadiran taksis berbasis aplikasi online yang dianggap mematikan bisnis usaha mereka. Seperti biasa, saya tidak bermaksud memihak. Kalau pun ya, saya hanya berpihak kepada pelanggan - karena saya salah satunya.
Saya juga tidak akan membahas perkara bisnis ilegal atau regulasi tidak jelas dalam persaingan usaha, karena memang bukan itu bagian saya.
Biar adil, saya akan berusaha seimbang saat bercerita. Supir taksi konvensional pernah ada yang berbaik hati mengembalikan dompet teman saya yang tertinggal di taksinya. (Tentunya setelah saya keukeuh melacak melalui customer service mereka.) Pernah juga mereka membantu saya mengangkut barang-barang, membangunkan saya yang tertidur di taksi saat tiba di tujuan, dan masih banyak lagi. Baik, ya?
Tapi, pernah juga ada supir yang menyebalkan. Bayangkan: beberapa kali waktu malam, saat mau pulang, saya sering ditolak supir taksi. (Waktu itu belum ada taksi berbasis aplikasi online.) Setiap kali menyebut Cipulir, respon mereka sama: "Macet, bu." Ada yang mukanya jutek, ada yang kelihatan ogah-ogahan, hingga...main kabur begitu saja.
Lalu, baru sekarang mereka protes dengan penumpang yang sudah terlanjur 'pindah ke lain taksi'. Tahu sendiri bagaimana rata-rata konsumen Indonesia. Jarang mengajukan protes, lebih banyak memendam, terus tahu-tahu cari yang lain saja. Giliran ada yang mengeluh, bagus bila ditanggapi dengan serius dan ada perbaikan dengan segera. Bila tidak? Salah-salah dicuekin, dianggap konsumen bawel, hingga...disomasi. (Masih ingat Prita Mulyasari, 'kan?)
Pernah juga saya diusili supir taksi soal berat badan dan status menikah. Yang begini tentu saja langsung saya laporkan segera ke bagian customer service. Bikin penumpang perempuan tidak nyaman! Ada juga teman saya (perempuan juga) yang pernah ketakutan setengah mati gara-gara dirayu supir taksi. Sudah ditanya-tanya terus soal pribadi, diminta nomor HP, sampai sempat tidak boleh keluar dari taksi gara-gara menolak dijemput setelah urusan teman di tempat tujuan selesai. (Asli, pintunya sampai dikunci!) Seram, 'kan? Meski mungkin niat si supir hanya bercanda, tetap tidak lucu dan sangat tidak profesional. Teman saya sempat trauma tidak mau naik taksi lagi untuk waktu yang cukup lama, apalagi sendirian.
Saya memang bukan pelanggan taksi berbasis aplikasi online. Namun, sebagai sesama pengguna transpor publik, saya bisa mengerti alasan mereka memilih taksi berbasis aplikasi online. Mungkin yang punya bisnis kurang atau lalai dalam mengurus perizinan yang ada. Memang penurunan tarif terkesan kejam dan tidak adil. Namun, faktanya adalah mereka telah menjawab kebutuhan pelanggan. Yang telah dilihat pelanggan di depan mata adalah yang mereka ingat. Mau memaksa, apalagi sampai mengancam, meneror, dan membuat keributan juga percuma. Yang ada malah makin menambah antipati mereka saja. Apalagi, reputasi bagus tidak hanya dibangun dalam semalam...
R.
(Jakarta, 22 Maret, 2016 - 7:30)

Senin, 28 Maret 2016

"BENCI/PARANOIA"

Kamu
Semua gara-gara kamu
Muncul sesuka hati
Datang dan pergi

Bagimu, semua hanya mainan
Karenamu, sebaiknya jangan terlalu terbawa perasaan
Kalau bisa tidak dipakai sekalian
Untunglah, dia cukup awas dan skeptis
Takkan dia biarkan kau membuatnya lengah, karena realita sadis

Celakanya, lelaki sepertimu selalu dimaklumi
Perempuan yang kau lukai malah bisa dihakimi, dihina setengah mati
Fakta itu membuatnya benci
Kau membuat cinta terdengar bagai komoditi, murah sekali

Kamu
Ya, semua masih karena sosok sepertimu
Kini dia semakin berhati-hati
Jangan sampai terluka, tak sudi dia tertipu lagi

Pergi
Semoga berikutnya lebih baik darimu
bukan hanya membuang-buang waktu
apalagi sampai jadi seperti racun dalam sembilu

R.

Minggu, 27 Maret 2016

"TENTANG PEMIKIRAN ‘STEREOTIPE’ DAN ‘KETERBUKAAN-PIKIRAN’ “

Setiap orang pasti punya contoh nyata tentang stereotipe. Gara-gara contoh atau/dan pengalaman orang lain, manusia cenderung menyamaratakan banyak hal. Contoh: pakem kuno Hollywood. Cewek pirang pasti bodoh. Atlit pasti brengsek.

Apa lagi? Oh, yang dipakai perempuan. (Nggak kaget lagi, ‘kan?) Perempuan dengan rok pendek pasti pelacur atau sundal. Perempuan berhijab pasti pemalu, sopan, konservatif...atau ekstremis. Seorang teroris. (Terima kasih kepada bentukan opini a la media mainstream!)

 Apapun jenis kelamin, penampilan fisik, pakaian, preferensi seksual, agama, latar belakang sosial, kelas sosial, tingkat pendidikan, dan bahkan pilihan pribadi lainnya – manusia selalu punya pendapat tentang segala sesuatu. Tidak masalah jika asumsi mereka (yang kadang agak bias) terbukti benar atau salah. Jujur sajalah, kita semua punya kecenderungan seperti itu, bahkan yang (merasa) ‘berpikiran terbuka’. Hanya sebagian dari kita yang masih cukup sopan (dan bijak) untuk menjaga mulut, bahkan atas nama perdamaian, toleransi, dan untuk menjaga perasaan orang lain. Kadang bukan masalah jika Anda (berpikir bahwa Anda) benar. Generalisasi secara ekstrim cenderung mengarah pada penghakiman yang tajam dan keras, bahkan terhadap hal-hal yang belum tentu Anda ketahui apalagi ingin Anda pahami. Bukannya kita harus (dapat) memahami segala sesuatu; karena hal itu mustahil.

Hasil akhirnya? Pastinya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, yaitu berupa kekerasan. Contohnya banyak dan tidak hanya kekerasan secara fisik. Salah satunya adalah dengan memakai istilah ‘open-minded’ atau ‘berpikiran terbuka’ untuk membuat diri sendiri merasa lebih superior dengan pilihan mereka dan membuat yang lain merasa kecil, salah, dan ‘tidak keren’ dengan pilihan pribadi mereka. Tapi sebenarnya, apa sih yang disebut dengan ‘keterbukaan pikiran’ itu? Apa yang membuat seseorang dianggap ‘berpikiran terbuka’? Sampai sejauh mana seseorang harus melakukan sesuatu agar disebut demikian?

Saya mengerti bahwa kita tidak selalu sepaham. Celakanya, ada orang-orang yang menggunakan istilah ‘open-minded’ atau ‘berpikiran terbuka’ untuk budaya tertentu, sekaligus merendahkan budaya lainnya. Itukah yang disebut ‘berpikiran terbuka’?

Banyak yang cenderung masih berpegang teguh pada ‘penilaian stereotipe’ mereka akan segala sesuatu. Mengapa? Karena mereka merasa aman sekaligus lebih unggul. Memang menyenangkan bila Anda (merasa) sudah tahu segalanya, bahkan tanpa merasa perlu berinteraksi dengan mereka yang Anda anggap berbeda.

Tentu saja, mereka selalu punya argumen-argumen andalan saat didebat. “Gue cuma berpendapat” atau “Ini kenyataan!” adalah dua alasan favorit mereka. Pada kenyataannya, opini mereka tidak selalu diminta.

Dan tidak ada yang tahu semua sisi realita. Kebanyakan orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.

Menurut saya, 'berpikiran terbuka' adalah menerima perbedaan dalam damai. Tak perlulah saling berkomentar nyinyir atas pilihan pribadi orang lain, terutama bila mereka tidak meminta dan Anda sendiri juga tidak suka diperlakukan demikian. Sebagai contoh: agama adalah pilihan pribadi. Tidak mau beragama? Ya, tidak perlu mengusik-usik mereka yang ingin beragama, begitu pula sebaliknya.

Tidak perlu membalas jika orang mempertanyakan, menghakimi, atau mengolok-olok pilihan pribadi Anda. Jika mereka memilih untuk berhenti bergaul dengan Anda, Anda akan menemukan teman-teman baru lainnya yang menerima Anda apa adanya. Mengapa harus seperti mereka, jika Anda sudah lebih baik – dengan fokus pada urusan pribadi Anda dan bicara seperlunya? Biarkan mereka ribut; cukup tutup telinga Anda.


Ngomong-ngomong, saat ingin menggunakan istilah 'berpikiran terbuka' sementara menuduh orang lain kurang berpikiran terbuka hanya dari pakaian mereka atau cara hidup mereka, pastikan Anda benar-benar tahu artinya.

Sabtu, 26 Maret 2016

Bukan Soal Tubuh, Tetapi Ruh

Bukan Soal Tubuh, Tetapi Ruh

"BALADA PEREMPUAN LAJANG DI ATAS USIA 30"

Mungkin banyak yang menganggap topik ini membosankan setengah-mati. Mungkin juga karena mulai semakin banyak perempuan yang lebih percaya diri, tidak lagi bertingkah bak kambing kebakaran jenggot hanya karena masih lajang di atas usia 30. Mungkin juga ada yang memilih tetap begitu. Apa pun alasan mereka, tak perlulah nyinyir dan sok ikut campur. Mau menasihati boleh, tapi tidak perlu sampai memaksa – apalagi sampai mencela dan menghina segala. Maaf, memangnya Anda siapa?
            Ada beda tipis antara peduli dengan usil. Peduli adalah saat mereka rajin mendoakan yang terbaik bagi si lajang, tanpa ucapan yang membuat si lajang merasa kurang, tidak berharga, buruk rupa, dan hina. Ya, terlepas dari niat yang punya mulut, yang katanya “baik” itu. Padahal mendoakan yang baik-baik saja sebenarnya sudah lebih dari cukup.
            Sementara itu, yang (kelewat) “usil” tidak pernah kehabisan cara untuk membuat si perempuan lajang merasa bersalah, HANYA karena di usianya yang sudah di atas kepala tiga belum juga menikah. Mulai dari mengomentari penampilan (dengan alasan klasik yang diamini sejuta umat: “Laki-laki ‘kan, mahluk visual!”), berat badan (“Kurusin dikit dulu deh, kalo mau cepet dapet pacar!”), hingga sikap (“Gimana kalo elo gak terlalu picky dan lebih membuka hati?” sama tambahannya “Tapi jangan gampangan juga, kali!”) Ada juga yang sampai bawa-bawa keluarga segala. (“Bokap lo sakit. Lo gak kasihan sama beliau?” Seolah-olah bila si perempuan lajang yang dituding itu buru-buru menikah – dengan siapa pun yang ASAL ADA – masalah akan selesai begitu saja dan sang ayah akan sembuh dengan ajaib.)
            Ada beberapa kasus nyata mengenai hal ini:
            Adik perempuan seorang rekan pernah sempat lama melajang, hingga di usianya yang ke-35. Saat keluarganya mencoba menjodohkannya dengan seseorang pilihan mereka dan gagal (karena si adik ternyata tidak punya ‘rasa’), jadilah dia yang di-bully:
            “Mbok ya, ngaca dulu,” tegur mereka waktu itu. “Umurmu sudah berapa, cantik apa enggak...”
            Akhirnya sang adik mengadu pada rekan saya sambil menangis. Jadilah sang abang membela sang adik mati-matian, melabrak keluarga besar. Eh, respon mereka hanya: “Kita ‘kan, maksudnya baik.”
            “Niat baik harus pakai menghina adik saya?”
            Aduuh!
            Singkat cerita, adik rekan saya akhirnya menikah di usia 37 dan memiliki seorang anak. Apakah setelah itu masih juga dirongrong mereka, seperti dikatai ‘telat nikah’ hingga diajak ‘berandai-andai’ macam: “Kalo dari dulu udah nikah, pasti anakmu nggak akan hanya satu”?
            Entahlah. Moga-moga tidak. Moga-moga mereka membiarkannya bahagia dengan pilihan hidupnya.
            Ada lagi kakak perempuan teman saya (lelaki) yang sudah berusia 31. Si kakak pernah didekati laki-laki di kampung mereka. Sebulan dekat, rupanya si kakak tidak sreg. Alasannya? Pertama, baginya laki-laki itu membosankan. Bahan obrolannya itu-itu saja. Kalau diajak ngobrol yang lain, laki-laki itu tampak malas menanggapi atau terlihat bingung. (Bahkan, yang parah bisa saja malah si perempuan yang dituding ‘sok pintar’ atau ‘pamer kecerdasan’. Biasa banget, ‘kan?)
            Kedua, laki-laki itu langsung mendesaknya dengan ajakan menikah, dengan ancaman kalau si perempuan tidak menjawab ‘ya’ dalam sebulan, maka laki-laki itu akan berpaling melamar perempuan lain. Mirip-mirip cerita dongeng atau adegan sinetron alay, kalau dipikir-pikir.
            Akhirnya mereka putus. Kakak teman saya tidak suka diancam-ancam segala (cara yang kekanak-kanakan dan tidak cerdas untuk melamar perempuan), tapi juga ingin membuktikan kebenaran ucapan si mantan.
            Tidak hanya belum punya pengganti, namun si mantan malah kembali mencari-cari kakak teman saya. Diterima kembali? Pastinya tidak.
            Masih banyak kasus serupa. Ada yang didekati laki-laki yang menurut saya cukup bodoh, tidak peka, dan kejam dengan berterus-terang begini: “Aku deketin kamu sebenarnya juga karena kasihan. Habis, sudah umur 30 masih juga belum menikah.” Ada juga laki-laki berego tinggi yang kesal ditolak, lantas memaki-maki: “Ngaca dulu, dong! Udah perawan tua, masih sok laku juga.”
            Laku? Ngomongin barang dagangan apa orang?
            Yang tidak mengerti (atau memilih enggan dan tidak mau peduli) mungkin akan langsung menganggap perempuan-perempuan ini sombongnya setengah-mati dan keras kepala lagi. Terserah, selama Anda ingat bahwa bukan Anda yang menanggung seluruh hidup mereka. Lagipula, bukankah manusia selalu punya pilihan? Memangnya hanya laki-laki yang boleh memilih, sementara perempuan tinggal duduk diam dan manis, terima jadi, dan nggak boleh menolak – atau harus siap dengan resiko dibilang ‘tidak tahu terima kasih’?
            Ah, standar ganda, bukan? Sama seperti harapan bahwa ‘perempuan baik-baik’ itu yang harus duduk diam dan manis sambil menunggu laki-laki datang menawarkan cinta duluan, bukan sebaliknya. Eh, giliran si perempuan sudah berusia 30 tahun ke atas, malah dia yang dikejar-kejar agar segera menikah – entah dengan siapa atau apa pun caranya. Dituduh kurang usaha, namun giliran usaha malah dianggap agresif karena putus-asa. Aduh, maunya apa, sih?
            Yang (memilih) tidak mengerti mungkin hanya akan menganggap penulis artikel ini ‘buta realita’, ‘anti pernikahan’, atau ‘perawan tua yang nyinyir karena nggak nikah-nikah juga’. Seperti biasa, terserah. Sudah baca contoh-contoh kasus di atas? Itulah stigma sosial yang – sialnya – hingga kini masih terus menimpa perempuan-perempuan lajang usia 30 tahun ke atas di Indonesia. (Mungkin juga berlaku di negara-negara lain, saya tidak tahu segalanya.) Padahal, kalau dipikir-pikir, apa gunanya sih, bermulut jahat sama mereka? Memang mereka pernah menyakiti Anda? Memangnya status lajang mereka segitu ‘ganggu’-nya bagi Anda? Jika mereka sendiri sudah cukup sabar dan menganggapnya cobaan, kenapa Anda harus merusaknya dengan hinaan? Memangnya Anda mau – atau mungkin sudah pernah – di posisi mereka?
            Memangnya kalian bisa menjamin bahwa ucapan kalian tidak membuat mereka terserang depresi, ‘salah jalan’ dengan merebut suami orang, hingga malah jadi anti beneran dengan pernikahan itu sendiri?
            Saatnya berhenti jadi social bully. Mendoakan yang baik-baik bagi mereka saja sebenarnya sudah lebih dari cukup menjadi bukti bahwa kalian benar-benar peduli. Tak perlu komentar sana-sini, apalagi sampai bikin mereka sakit hati.
            Kerja samalah. Jangan bisanya hanya terus-terusan menuntut satu pihak saja!


            R.

Rabu, 23 Maret 2016

"ANARKI HARI INI"

Ada hasil dari amarah
yang tertahan terlalu lama
dari mereka yang (selalu merasa) kalah
akan ketidakadilan yang ada

Tiada rasio dan logika
Semua semaunya
Anarki tanpa henti
atas nama (kecilnya) harga diri

Ada hasil dari amarah
Kemuakan luar biasa
Namun teror juga percuma,
karena tidak ada yang suka dipaksa
apalagi diancam-ancam segala!

R.
(Jakarta, 22 Maret 2016)

Senin, 21 Maret 2016

"SEMENIT DALAM BENAKKU"

Jangan menungguku. Bagiku, terutama akhir-akhir ini, tidak ada menit yang ter(lalu) lama bagiku. Jadwalku penuh.
Terserah bila kamu mau menuduhku 'sok sibuk'. Aku bukannya mau menghindar. Hidupku bukan melulu tentangmu.
"Kenapa kamu tidak membalas WA-ku, sih?"
"Kenapa susah sekali menelepon kamu akhir-akhir ini? Kamu tidak pernah menjawabnya. Kalau pun iya, jawabnya lama sekali."
"Kamu nggak pernah ada lagi waktu untukku."
Di saat-saat seperti itulah, sesak kembali melandaku. Entah kenapa, akhir-akhir ini asmaku kambuh. Di mata benakku, kata-katamu berubah menjadi dinding-dinding beton besar yang mengepungku.
Aku tersiksa.
Semua gara-gara tuntutanmu. Makan malam terlama, setiap menitnya setara dengan sejam. Kamu bicara dan terus bicara, sementara aku hanya diminta duduk, diam, dan mendengarkan saja. Ingin kubantah, namun kamu malah marah. Katamu, istri yang baik harus selalu menuruti semua permintaan suami - tanpa terkecuali.
Ah, kemana dialog kita yang dua arah itu? Kemana kamu yang dulu?
Untung kita belum menikah. Wajah aslimu membuatku takut, tak hanya ragu. Terlalu cepat kau tunjukkan, tapi jujur - aku lega. Kurasa aku harus berterima kasih pada Tuhan sebelum akhirnya menjatuhkan keputusan.
Kubiarkan ponselku terus bergetar halus di atas meja. Aku tahu, WA terakhir dariku pasti membuatmu marah. Kamu sekarang tahu rasanya tidak didengarkan. Keputusanku sudah bulat.
Maaf, jangan samakan aku dengan para perempuan Stepford, yang harus selalu tampak cantik sempurna, dengan senyum itu di wajah mereka - sembari menuruti setiap keinginanmu tanpa henti dan tanpa membantah, minimal mempertanyakan alasannya. Aku manusia yang juga punya kebutuhan yang sama. Sabar bukan hanya kewajiban satu orang saja. Tak adil bila hanya searah.
Aku juga butuh teman-teman. Jangan harap aku sudi duduk-duduk di rumah, hanya menunggumu saja. Merentangkan tiap menit dalam sisa hidupku, hanya untuk memperlakukanmu ibarat pusat semesta. Benarkah agama sekejam itu sama perempuan? Aku sungguh tidak percaya.
Cinta? Harusnya kau bukan sipir dan aku bukan napi dalam penjara. Bukankah kita manusia yang hidup menghirup udara yang sama?
R.
(Jakarta, 26 Februari 2016. Ditulis untuk "The Couchsurfing Writers' Club Gathering" dengan tema "Semenit Terlama". Terinspirasi juga dari lagu Sara Bareilles berjudul "King of Anything".)

Minggu, 20 Maret 2016

Karma by Coklat with Lyrics

"DENDAM"

Aku ingin tertawa
Rupanya, kau mulai putus-asa
Kau kira kau selalu dapat semua
dan aku akan rela memberi segala yang kau pinta

Kini, aku tertawa
Ah, cerita pendek lama
Masih juga kau pakai cara yang sama
Lama-lama kau hanya lelucon belaka

Aku masih belum berhenti tertawa
Sulit sekali rasanya
Mungkin aku terdengar dingin, kejam, dan sedikit jumawa
Namun, kau juga egois luar biasa

Suatu saat, mungkin akhirnya aku juga akan berhenti tertawa
Semoga segera
dan kau hanya tinggal cerita lama
mimpi buruk dan hantu belaka

Tuhan, jangan sampai aku kembali dipertemukan olehnya
atau bahkan mahluk sejenisnya
bila hanya akan membuatku (kembali) terluka
Rindu ini telah lama berganti murka
Sebaiknya dia hengkang saja
kalau perlu selamanya

Hanya cerita lama
Bukan siapa-siapa
"Jangan menyerah," kata mereka
Namun, saat ini muak masih berkuasa

Cinta?
Ah, bedebah itu tidak tahu apa-apa!
Ini bukan untuk coba-coba
Semua rayuan begitu basi dan tiada guna
bila di otak hanya napsu yang meraja

Jangan suka permainkan mereka yang (bisa) setia
Bikin kacau saja!
Kelak, saat Tuhan benar-benar bisa membuatmu jatuh cinta
dan tidak hanya sementara,
maka hati ini akan telah mendingin, menampikmu dengan sedemikian rupa
hingga giliranmu yang terluka...

R.
(Jakarta, 19 Maret 2016 - 14:00)

Rabu, 16 Maret 2016

"BUAT YANG HOBI MELABELI SESAMA DENGAN SEBUTAN 'CEMEN', 'CENGENG', 'MANJA', DAN SEJENISNYA:"

"Ketahanan fisik dan mental setiap orang berbeda. Nggak mungkin dan nggak bisa sama, apalagi bila sampai dipaksakan."
Seorang kawan bijak pernah berkata demikian. Butuh waktu lama bagi saya untuk menerimanya dan mencoba bersikap lebih cuek dengan ejekan-ejekan 'nggak penting'.
"Ya, ampun. Lo cepet laper ya, orangnya? Pantes gendut."
Sering dikomentari begini saat lagi jalan sama orang lain, entah itu keluarga sendiri atau teman? (Kalau pacar? Tinggalkan saja! Eh, terserah Anda, ding. Hehe.) Saya juga. Seperti biasa, orang yang kelebihan berat badan selalu dianggap rakus dan hanya memikirkan makanan terus. Biasa banget, 'kan? Pokoknya, meski ada juga orang kurus yang rentan lapar terus, stigma tersebut terlanjur melekat (atau dilekatkan secara sosial) pada orang gendut. Dijadikan bahan lelucon (basi!) pula. Masih komedi versi kita, nih.
Lalu, apa yang biasanya terjadi bila saya telat makan/tidak makan tepat waktu? Tergantung kondisi. Kalau badan masih fit, minimal hanya mood yang sedikit terganggu. (Maka itu, amat sangat tidak disarankan untuk menjadikan berat badan saya sebagai lelucon - terutama bila Anda sudah pernah kena damprat.) Kalau kurang fit, pasti jadi lesu dan tidak bersemangat.
Kalau sedang tidak fit? Migrain, masuk angin, hingga muntah-muntah. Yang terparah? Jatuh pingsan. Silakan tanya mereka yang sudah pernah (bersusah-payah) mengangkat saya. (Untung belum ada yang cukup tega untuk menggelindingkan saya!) Kalau sudah begini, tidak hanya saya yang rugi. Orang-orang sekitar ikutan repot. Belum lagi komentar-komentar yang sama sekali tidak membantu:
"Ternyata lo ringkih banget ya, badan gede gitu? Gimana pas puasa?"
Terima kasih banyak. Kayak bisa menyelesaikan masalah saya saja dengan komentar demikian.Berbeda dengan kakak dan adik saya, yang bisa tahan menunda makan tanpa kemungkinan bakal pingsan. Pas mereka makan banyak pun (dan bahkan kadang porsinya lebih banyak daripada porsi saya), mereka tidak mudah gemuk. Kenapa saya berbeda? Kenapa saya tidak bisa seperti mereka? Hmm, mungkin sama saja dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini:
"Kenapa kucing Angora lebih jigrak daripada kucing kampung?"
"Kenapa ada yang alergi udang sampai masuk UGD, sementara temannya tidak apa-apa?"
Saya tidak pernah mencoba seperti kakak dan adik saya. Saya hanya mencoba menjaga kesehatan tubuh dengan cara yang saya bisa. Kalau memang saatnya sudah lapar, sementara yang lain belum, ya saya makan duluan. Kalau misalnya sedang dalam situasi dimana sopan-santun diperlukan dan makan (mau tidak mau) harus menunggu orang lain (atau orang yang lebih tua), minimal saya akan berusaha menahan diri. Kata siapa orang gemuk makannya pasti barbar dan nggak kira-kira, sampai lupa tata-krama?
Kalau dibilang ringkih? Bodo amat! Baguslah bila secara fisik mereka memang lebih kuat daripada saya. Memangnya mereka mau tanggung-jawab bila mendadak saya ambruk lagi (duh, jangan sampai!) hanya gara-gara mengikuti jam makan mereka atas nama gengsi atau harga diri? Belum tentu juga, 'kan?
Sama halnya dengan ketahanan mental dan emosional.
Mungkin Anda tipe yang mudah terharu, baik saat membaca cerita atau menonton film sedih. Atau saat mendengarkan curhat seseorang. Sampai menangis? Mungkin saja. Kenapa tidak? Bukankah manusia lahir dengan kelenjar air mata?
Sayangnya, tidak seluruh dunia bisa (atau bahkan sudi) bersimpati atau berempati. Siap-siap saja mendengar komentar miring macam ini, terutama bila kebetulan Anda seorang lelaki:
"Ya, ampun. Baru gitu aja udah sensi. Cengeng banget sih, lu!"
"Kayak cewek aja. Dikit-dikit mewek!" (Ini bila Anda lelaki.)
Aduh.
Oke deh, kalau Anda merasa lebih kuat, tegar, dan tidak mudah menangis. Selamat, ye? Perlu dirayakan? Perlu pengakuan dari orang lain, bahkan sampai acara mem-bully?
Apakah Anda berharap semua orang akan selalu seperti itu, berusaha keras menyembunyikan perasaan - atau kalau bisa dingin, alias kayak tidak punya sama sekali? Yakin, Anda bakalan tahan sama mereka?
"Kalau tidak bisa bicara baik-baik atau tidak tahu harus ngomong apa, mendingan diam."
Ada kalanya, komentar kita tidak diperlukan - boro-boro diminta. Kita tidak perlu selalu setuju atau bahkan mengerti semuanya, tapi apa iya harus sampai pakai acara menghina segala? Untungnya dimana coba?
Padahal, menurut pengalaman saya selama ini, yang hobi 'bermulut besar' seperti ini justru malah yang sebenarnya menyembunyikan kelemahan mereka sendiri dengan menjatuhkan orang lain, apa lagi di depan umum. Bisa saja yang hobi mengatai Anda cengeng justru lebih cengeng, namun sok tegar. Celakanya, mereka juga hobi berharap agar selalu dimaklumi. Standar ganda gila sekali.
Celakanya, berhubung terlanjur mengaminkan perbedaan dalam hidup ini, suka tidak suka saya pun terpaksa menerima kenyataan bahwa tidak semua orang bisa atau mau menjaga mulut mereka. Kalau sampai keterlaluan? Hanya ada tiga pilihan: lawan, diamkan, atau doakan. Nah, yang terakhir ini bisa seram - tergantung seberapa sabar atau dendam Anda.
Ah, sudahlah...
R.
(Jakarta, 27 Februari 2016 - 12:30)

Selasa, 15 Maret 2016

"MASIH ADA HANTU ITU DI KASTIL SUNYIMU"

Masih ada hantu di benakmu
meski sosoknya telah lama berlalu
Hadirnya begitu mengganggu
Kau tidur dan melihat mimpi buruk itu

Bagaimana mengenyahkannya,
meski kau pun bukannya tak berdaya?
Merapal mantra?
Berdoa?
Apa saja, asal dia tak perlu lagi ada

Dasar sial, masih ada hantu!
Akankah kau biarkan dia mengganggu hari-harimu?
Jangan, kau lebih kuat dari itu!
Suatu saat, kau akan kembali (merasa) normal seperti dulu
saat kalian belum bertemu...

Masih ada hantu itu di kastil sunyimu
Mengapa juga kau masih terpaku?

R.
(Jakarta, 16 Maret 2016 - 8:30)

Minggu, 13 Maret 2016

"MEM-BULLY SI BULLY"

Penindas, perundung, peneror. Tiga kata terjemahan itu cocok sekali untuk menggambarkan sosok "bully". Sosok yang menakutkan atau menjengkelkan, tergantung reaksi korban atau mereka yang jadi sasaran.
Sudah banyak yang mengulas tema bullying, mulai dari definisi, ciri pelaku, alasan, ciri korban potensial, hingga akibat yang ditimbulkan. Bullying tidak hanya terjadi di sekolah dan korbannya murid yang dianggap lemah/cupu/nyebelin/bikin sirik/dan sebagainya.
Bullying dapat terjadi di lingkungan kerja (ajaib bila pelakunya masih merasa termasuk orang dewasa!) dan bahkan di dunia maya. Ya, tinggal lihat saja di social media yang seharusnya menjadi tempat orang bermain, berkumpul, dan bersenang-senang di dunia maya. Peluang untuk saling mem-bully semakin terbuka, apa pun alasannya.
Bahkan, mem-bully tanpa alasan pun ada. Mengapa? Ya, kurang kerjaan saja. Mungkin juga kurang bahagia - atau malah keduanya: udah kurang sibuk, nggak bahagia pula. Kasihan.
Banyak cara untuk menghadapi para bully, terutama internet troll. Mungkin Anda termasuk yang santai. Mereka mau menghina Anda kayak apa, sebodo' amat. Anggap saja mereka tidak ada. Hidup Anda adalah urusan pribadi Anda.
Ada juga yang stres. Gawatnya, bisa-bisa sampai kepikiran banget hingga mengganggu kesehatan diri, baik fisik maupun mental. Paling parah sampai ada yang menyakiti diri sendiri atau malah bunuh diri. Kalau sudah begini, jangan harap para bully sudi bertanggung-jawab. Bisa-bisa mereka malah menjadi-jadi, mengatai korban dengan sebutan 'cengeng', 'lemah iman', dan sebangsanya. Males banget, 'kan? Sombongnya makin nggak ketulungan!
Terakhir, ada juga yang memilih untuk melawan. Yang memilih untuk tetap waras mungkin akan bersikap cuek saja atau memblokir mereka sekalian. Ada fiturnya, 'kan? Tinggal klik dan hilanglah kesempatan mereka untuk terus mengganggu Anda di dunia maya. Lain cerita bila mereka terus bikin akun baru lagi di tempat yang sama, khusus untuk kembali merongrong Anda dengan teror 'nggak penting' dari mereka. Ya, namanya juga kurang kerjaan. Mungkin saking populernya Anda, mereka sampai mati-matian mencari perhatian Anda.
Banyak yang memanfaatkan UU ITE untuk mengganjar para bully lewat jalur hukum. Namun, tidak sedikit juga yang memutuskan untuk memakai 'cara jalanan'. Ada yang menantang berkelahi di ruang publik. Ada juga yang mengajak bertemu, terus si bully balas di-bully oleh korbannya sendiri di depan umum. Belum cukup puas karena merasa dendam kesumat belum terbalas, adegan tersebut sampai direkam dengan kamera video sebelum diunggah di social media agar dapat ditonton seluruh dunia. Pokoknya jangan tanggung-tanggung, kalau bisa si bully dibikin jatuh sekalian harkat dan martabatnya.
Semua atas nama harga diri belaka...
Dalam sekejap, tak ada bedanya. Semua jadi sama. Bullying berlanjut, nyaris tanpa jeda. Kebencian demi kebencian merajalela. Pelaku mengincar korban dan korban kemudian berubah menjadi pelaku. Lingkaran setan belaka.
Apa untungnya? Kemana dialog dua arah yang menjadikan manusia orang dewasa dan beradab?
R.

"TENTANG RATU ES"

Dia telah berhasil menipumu
dengan semua sikap dingin itu
Kau kira hatinya telah lama beku
tak tertembus hangatnya tawaranmu

Hangat?
Ah, terlalu jelas yang dia lihat
Kamu meminta terlalu banyak
Kamu menakutinya hingga sesak

Cinta itu mungkin hampir ada,
namun kamu telah merusaknya
Sekarang tolong, tinggalkan dia sendiri
Jangan pernah kembali lagi

Suatu saat dia akan terbebas dari mimpi buruk itu
dan mulai lagi membuka hati
berhenti menjadi Ratu Es sejati
Siapa tahu?
Yang berikutnya harus jauh lebih baik darimu,
wahai mahluk tak tahu malu

R.
(Jakarta, 13 Maret 2016 - 15:00)

Sabtu, 12 Maret 2016

"SURAT ADAM UNTUK MAMA"

Hai, Ma. Maaf aku baru bisa mengabari Mama sekarang. Butuh waktu lama untukku agar merasa cukup aman mengirim surat ini. Aku masih harus berhati-hati.
            Aku tidak bisa memberitahu lokasiku sekarang. Mereka pasti masih mengawasi Mama. Jangan-jangan mereka malah sudah membaca surat ini duluan. Aku tidak mau Mama lagi-lagi jadi susah gara-gara aku. Sudah terlalu sering aku menyusahkan Mama, meski tidak sengaja. Aku sayang Mama.
            Aku baik-baik saja, meski masih bertanya-tanya. Mama tahu maksudku. Selama ini, banyak sekali yang sepertinya Mama sembunyikan. Mama tidak pernah mau cerita.
            Siapa Papa? Mama selalu menangis setiap kali kutanya. Awalnya aku tidak tega, namun lama-lama aku lelah. Aku berhak tahu, Mama. Aku muak dengan bisik-bisik tetangga dan cemoohan mereka.
            Di sekolah, aku juga sering banget diganggu. Billy Carter dan gengnya rajin sekali memukuliku dan mengataiku anak buangan, bahkan menyebut Mama murahan. Tidak ada yang pernah mau membelaku. Semua hanya diam dan menonton, entah karena takut pada Billy atau malah juga membenciku. Entah apa salahku. Aku tidak pernah mau mengganggu siapa-siapa. Tak ada yang perlu jadi temanku bila memang tidak mau.
            Mama, tidak bosankah harus mengobati semua lukaku sepulang sekolah, entah itu bibirku yang robek, hidungku yang mimisan, hingga mata lebam? Aku bosan. Aku muak jadi korban.
            Pagi itu, aku sudah melewati puncak kemuakanku. Mendadak aku hanya ingin berteriak sekencang-kencangnya, tak peduli apa pun lagi. Mungkin karena itulah benda-benda di sekitarku terbang dan terlempar ke luar. Banyak yang hancur, kaca-kaca pecah.
            Aku tahu, Mama takut. Mata Mama tidak bisa bohong. Makanya, aku buru-buru kabur ke sekolah, entah kenapa. Mungkin aku kalut. Namun, begitu ingat bahwa di sanalah Billy dan gengnya selalu menunggu untuk menghajarku, aku semakin marah dan kembali berteriak. Semakin banyak barang yang hancur dan pecah. Ada yang menelepon polisi. Tim SWAT datang.
            Aku pun lari ke hutan. Mereka mengejarku. Aku takut.
            Sumpah, Mama. Aku tidak bermaksud untuk membunuh mereka. Maafkan aku...
            Bakarlah surat ini setelah selesai membacanya, Mama. Aku belum bisa pulang. Aku mau cari Papa dulu.
            Aku mau tahu apa Papa juga manusia...
            Love,
            Adam

"PUISI SEDERHANA TENTANG YANG TAK PERLU TERUCAP"

Selamat pagi, wahai sosok luar biasa
Aku selalu rindu senyummu
Semoga kamu selalu baik-baik saja

Selamat siang, jiwa bersahaja
Aku selalu terkenang hangat yang familiar itu
Semoga hidupmu tak melulu berhias duka

Selamat malam, bahagia
Semoga benakmu bebas dari pilu
hari ini, esok, dan seterusnya...

R.
(Jakarta, 12 Maret 2016 - 8:45)

Jumat, 11 Maret 2016

"HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL: MEREBUT MALAM KEMBALI DI TAMAN SUROPATI"

Ada yang bilang 'malam' dan 'perempuan' bukan gabungan yang terdengar enak di telinga. Mendengar sebutan 'perempuan malam', pasti yang muncul di kepala adalah 'perempuan tuna susila' / PSK (penjaja seks komersial) - meski saya lebih suka menyebutnya 'PEDILA' (perempuan yang dilacurkan). Pokoknya semua yang dianggap hina dari seorang perempuan yang suka keluar malam.
Masih ada juga sebutan-sebutan lain yang tak kalah negatif, seperti: perempuan gila pesta, pencinta hedonisme, nakal, penggoda, dan sebangsanya. Pokoknya, menurut masyarakat patriarki, 'perempuan baik-baik' itu perempuan yang tidak suka keluar malam, tidak pernah keluar malam, dan kalau bisa selalu di rumah saja. Sekian.
Alasannya? Yang paling populer: 'keamanan'. Sisanya sih, lebih banyak stigma sosial. Menurut mereka, perempuan yang suka keluar malam pasti dan selalu memancing kejahatan. Namun, apa iya selalu demikian?
Inilah yang menjadi topik diskusi pencerahan dalam acara "Hari Perempuan Internasional: Merebut Malam Kembali" di Taman Suropati pada 8 Maret kemarin, pukul tujuh malam. Acara yang berakhir pada pukul sepuluh ini juga berisi pembacaan puisi, menyanyi bersama, dan pastinya saling berbagi cerita.
"Di kampung saya masih saja ada paham bahwa perempuan yang keluar malam pasti bakal hamil," cerita Tyas, salah satu peserta diskusi. "Padahal, kita semua tahu bahwa tidak mungkin malam bikin hamil perempuan. Lagipula, ibu saya juga jualan makanan di stasiun pada malam hari. Kalo nggak gitu, kita pada nggak makan, dong."
Masih banyak lagi cerita sejenis. Meski termasuk perempuan yang hanya keluar malam bila benar-benar diperlukan, saya termasuk salah satu penentang stigma sosial yang terlanjur mengakar menyesatkan. Stigma tersebut seakan memberi alasan bagi para lelaki di luar sana untuk menyerang perempuan yang kebetulan sedang di luar rumah sendirian pada malam hari. Saking muaknya, sering kali saya berharap yang mereka kira 'perempuan manusia tulen' yang hendak dijadikan sasaran niat bejat mereka ternyata 'mahluk gaib', hehehe... (Maklumi fantasi jahat saya.)
Ada perempuan yang terpaksa bekerja malam, ada yang memang menyenanginya - dan itu tidak berarti mereka termasuk penjaja seks komersial. Coba, mau nggak kalau semua lelaki yang suka keluyuran di malam hari dicap bajingan yang mudah 'horny' saat melihat perempuan lewat - apa pun yang mereka kenakan atau saat mereka sedang sendirian? Nggak mau, 'kan? Ngakunya mahluk yang lebih memakai logika, bukan?
Bila faktor 'keamanan' yang jadi alasan, bagaimana dengan mereka yang jadi korban kejahatan - justru di siang bolong dan pas di tempat ramai pula? Bagaimana dengan mereka yang jadi korban perampokan saat mereka masih tidur di dalam rumah? Bagaimana dengan mereka yang justru malah jadi korban kekerasan di rumah mereka sendiri, setiap hari pula?
Jangan salahkan malam. Jangan bisanya selalu hanya menyalahkan perempuan. Salahkanlah sosok-sosok di luar sana yang masih mengaku manusia, namun tidak manusiawi karena merampas rasa aman dan nyaman yang harusnya menjadi hak asasi semua manusia - baik lelaki, perempuan, anak-anak, tua, dan muda - di mana pun mereka berada. Termasuk perempuan yang suka keluar malam, apa pun urusan pribadi mereka.
Lagipula, kata siapa harus menunggu malam untuk berbuat asusila atau kejahatan? Semua tergantung niat masing-masing manusianya. Bukankah harusnya bumi ini milik bersama?
R.
(Jakarta, 9 Maret 2016 - 11:00)