Jumat, 29 April 2016

"TENTANG FEODALISME AKUT DAN MEREKA YANG MENDENDAM DALAM DIAM"

Enaknya jadi yang 'lebih tua' atau 'dituakan' di Indonesia. Senioritas semacam itu sampai sekarang masih berlaku, lho! Barangkali di negara-negara lain juga sama, meski mungkin dalam skala berbeda. Suka tidak suka, inilah realita yang ada. Yang paling berat mungkin bila pelakunya adalah orang-orang terdekat, mereka yang tercinta, hingga yang wajib dihormati - terutama dalam konteks agama. (Berat juga, ya?)
Apakah saya anti sopan-santun? Tidak juga, selama tidak menjurus ke arah munafik. (Semoga saja tidak, ya.) Baik ke yang lebih tua, seusia, dan bahkan yang lebih muda - saya bisa. Kenapa harus pilih-pilih usia dan kelas sosial, sih? Syukur-syukur bisa jadi teladan, alih-alih menyakitkan. Tidak perlu sampai narsis segala dan merasa yang paling bisa, karena semua orang bisa melakukan hal yang sederhana bila ada keinginan, terutama dalam hal saling menghargai - sekecil apa pun. (Ya, termasuk sekecil apa pun orangnya.)
'Feodalisme akut' selalu jadi masalah saya. Itu, standar ganda gila yang ditentukan berdasarkan usia, pangkat, hingga level senioritas sejenisnya.
Mengapa sepertinya lebih enak menjadi yang 'lebih tua' atau (setidaknya merasa) 'dituakan' di sini? Contohnya, saat mengantri. Jika kebetulan Anda termasuk - maaf - kategori jompo yang sudah tidak bisa berdiri lama-lama, bolehlah minta didahulukan. (Harus malah!) Lain cerita bila Anda masih termasuk orang dewasa yang sehat lahir-batin, tapi diminta mengantri sebentar dengan sabar saja lagaknya sudah kayak mau mati. Tidak hanya orang tua (yang jelas-jelas harus dihormati), anak-anak yang sudah mengantri duluan saja Anda serobot dengan senang hati. Kenapa harus peduli? Mungkin Amda begitu percaya diri, karena mengira bahwa anak kecil takkan berani. Kalau anak itu sampai berani menegur Anda, bisa jadi Anda malah memilih untuk berlagak tuli. (Jangan menangis bila suatu saat memang benar-benar terjadi!) Bisa jadi, Anda mungkin malah balas menghardik: "Diam, anak kecil nggak usah banyak bacot!" atau "Bah, masih kecil udah sok tua, sok ngajarin!"
Idih, beraninya cuma sama anak kecil - atau mungkin sosok-sosok lain yang juga Anda anggap sepi dan tidak penting! Ngomong-ngomong soal sok tua, kenapa pula Anda yang bertingkah sok 'muda' - terutama mengingat bagi Anda, peraturan hanya berlaku bagi yang muda tapi yang juga selalu Anda anggap 'tak tahu aturan'? Halooo, logika Anda lari ke mana? Apa jangan-jangan malah tidak pernah benar-benar ada?
Feodalisme akut jugalah yang membuat saya waktu kecil sempat (dianggap?) cukup 'lancang' saat berbicara begini sama orang tua (dan beberapa orang dewasa lainnya yang waktu itu ikut mendengar) :
"Jadi orang dewasa itu enak, ya? Bisa bebas berkuasa, sesuka-suka mereka. Bisa nyebelin tapi nggak ada yang negur ama marahin. Anak kecil disepelein, mentang-mentang masih anak kecil."
Reaksi mereka? Orang tua (yang syukurnya berpendidikan tinggi dan berpikiran terbuka) hanya berusaha menjelaskan dengan sabar. Yang lain? Kebanyakan hanya tersenyum geli atau tertawa meremehkan, menganggap lucu atau sepi komentar saya. Kalau waktu itu ada yang merasa sedikit tersentil atau tersinggung dengan ucapan saya, paling yang terlintas di benak mereka cuma ini: "Anak kecil udah berani banyak bacot!"
Ya, ya, ya. Anak kecil tahu apa, sih? Begitu pula dengan yang lebih muda. Tak heran, masih banyak orang tua yang tega 'membunuh' cita-cita anak mereka, hanya karena merasa bahwa mereka-lah yang paling tahu segalanya. Tiada dialog dua arah, hanya pemaksaan sepihak. Bahkan, sedihnya suka pakai ditambah dengan ancaman: "Jadi anak jangan suka melawan, durhaka sama orang tua!" Argumen selesai. Sekian.
Hasilnya pasti beragam. Bersyukurlah bila mereka akhirnya mengalah dan menurut saja dengan lapang dada. Yang menurut tapi diam-diam tersiksa juga banyak. Yakin mereka benar-benar bahagia - atau hanya ingin menyenangkan hati Anda saja? Pedulikah Anda bahwa mereka berubah ibarat robot bernyawa, hanya karena dipaksa menjalani rencana hidup Anda bagi mereka tanpa protes atau banyak tanya?
Mungkin, ada juga yang akhirnya sudah tidak tahan lagi berpura-pura. Risikonya? Akan ada rasa saling membenci, namun siapkah Anda kehilangan sisa kesempatan emas untuk benar-benar mengenal mereka - hanya atas nama ego dan harga diri belaka?
Saat didebat oleh yang lebih muda, seorang feodalis akut sejati juga hobi memakai cara yang tidak cerdas maupun sehat. Yang dilihat bukan isi perdebatannya, tapi sosok yang berbicara. Rajin mengingatkan, terutama dengan nada mencibir dan mencela:
"Masih muda udah merasa paling pintar, paling bisa, paling tahu segalanya? Ingat, kamu sedang bicara dengan siapa. Tetap harus hormat dengan yang lebih tua." (Sama saja, meski yang lebih muda bicaranya sudah sebaik dan sesopan mungkin. Dengan kata lain, ibarat dewa anti kritik!)
"Kami sudah hidup jauh lebih lama daripada kalian yang belum tahu apa-apa. Boleh tidak suka, tapi lebih wajar bila kami yang salah memperlakukan kalian daripada sebaliknya. Paham?" (Ada yang bisa membedakan mereka yang hidup lama tapi tidak belajar banyak atau mereka yang cuma hidup sebentar namun lebih banyak belajar?)
Lalu, apa pelajaran yang dapat dipetik dari para feodalis akut gila hormat ini? Warisan dendam yang mengakar lebih dalam. Ada yang jadi tidak sabar ingin segera dewasa dan mandiri, hanya agar segera 'terlepas' dari kondisi tergantung pada sosok-sosok demikian. (Kalau tidak bisa, minimal mengurangi frekuensi harus berurusan dengan mereka.) Sampai-sampai mereka lupa, bahwa masa kecil dan remaja harusnya dinikmati setiap prosesnya agar bahagia. Semua hanya gara-gara tidak ingin disepelekan, ditertawakan, atau direndahkan.
Setelah itu, akan ada masa mereka berhenti mendengarkan Anda, karena selama ini sudah muak dengan perasaan disepelekan dan tidak pernah didengarkan. Tidak hanya rasa hormat dan kasih sayang, Anda pun berisiko kehilangan penonton yang dulu setia. Terimalah, zaman tak lagi sama. Anda tidak pernah menyediakan ruang bagi mereka untuk bertanya dan mencerna. Pokoknya, lakukan saja semua...sesuai maunya Anda.
Saat akhirnya tiba di posisi Anda, mungkin mereka akan mengulangi pola serupa, melakukan hal yang sama. Saat mendapatkan perlawanan dari generasi yang lebih muda, komentar mereka mungkin akan sama nyinyirnya - ditambah dengan: "Anak-anak zaman sekarang itu manja-manja, ya? Dulu saya 'dikerasin' masih kuat-kuat aja!"
Dengar, ada dendam terselip dalam sebuah pernyataan. Lain cerita bila mereka memilih jalan berbeda, tidak mengikuti perilaku Anda. Lebih baik malah, dengan tidak menjadikan usia sebagai faktor pembenaran absolut atas segala perbuatan yang jelas-jelas salah dan menyakitkan sesama. Ya, manusia memang tidak ada yang sempurna. Tapi, bukankah Anda sendiri akan menganggap konyol mereka yang misalnya melarang Anda merokok, padahal mereka juga pelakunya?
Beruntunglah manusia-manusia generasi berikut yang bisa memilih jalan yang lebih baik, tidak kalah seperti mereka yang lebih memilih pasrah dan menyerah pada keadaan...dan selamanya terjebak di dalam lingkaran setan. Tidak perlu ada lagi pengulangan yang menyakitkan. Mungkin, bila jumlah mereka semakin banyak, kasus bullying di sekolah dan korupsi di pemerintah bisa banyak berkurang. Tidak ada lagi yang menggunakan usia, status, dan jabatan untuk berbuat semena-mena terhadap sesama.
Ya, semoga saja...

R.
(Jakarta, 29 April 2016 - 10:45)

"DI BALIK DINDING KASTIL SUNYIMU..."

Masih ada dinding tebal itu di sekelilingmu
tinggi dan kokoh, dari es yang kian membeku
Mengapa perlahan kau jauhkan semua kehangatan itu?
Takutkah kau dengan panas yang mungkin akan menyengat jiwamu,
membakar habis semua yang utuh hingga luruh?

Namun, udara di dalam Kastil Sunyi-mu kian mendingin
perlahan mengancam, akan membunuh segala ingin
Sepertinya, lagi-lagi kau harus memilih
Takut itu akan selalu ada dan sama,
bahkan mungkin lebih pedih dari sebelumnya
Luka-luka itu bukan yang perdana
Mengapa masih lemah juga?
Harusnya kau tetap tegak berdiri,
meski dengan yang ada dan sudah tiada...

R.
(Jakarta, 29 April 2016 - 10:30)

Rabu, 27 April 2016

"SETIAP HARI ADALAH HARI BUKU"

Sebenarnya, tanggal 22 dan 23 kemarin saya ingin menulis tentang Hari Bumi dan Hari Buku. Apa daya, kesibukan membuat saya akhirnya menunda niat tersebut. First things first sebisa mungkin menjadi motto saya.
Rasa-rasanya tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang Hari Bumi. Jujur, saya masih kecewa, terutama sama diri sendiri. Saya masih belum berbuat banyak bagi bumi ini. Entah bagaimana dengan mereka, yang masih juga enggan membuang sampah pada tong yang jelas-jelas sudah disediakan...dan masih juga lebih memilih mengotori jalanan. Alasannya pasti juga sama, mulai dari: malas, ada tukang sampah yang dibayar, hingga yang menurut saya paling konyol - tempat sampahnya nggak kelihatan! Habis itu mereka malah main kabur begitu saja, meski tong sampah jelas-jelas ada di depan mereka. Entah masih tidak paham fungsinya atau memang (memilih untuk) tidak peduli, karena merasa itu bukan tanggung jawab mereka.
Begitu banjir, baru pada ribut. Cerita lama...
Jujur, saya sendiri juga masih jauh dari sempurna. Saya masih suka jatuh tertidur dan lupa mematikan TV saat malam!
Bagaimana dengan Hari Buku? Bagi saya, setiap hari adalah Hari Buku. Tidak hanya suka, saya sudah cinta dan dalam taraf kecanduan membaca. Saat 'tanggal tua' sehingga tidak bisa sering kemana-mana, buku-lah penyelamat saya hingga betah berlama-lama di kamar. Bila yang janjian ketemu dengan saya dan mereka datangnya lama (yah, toleransi saya hanya sampai sejam, maaf), saya memutuskan untuk menunggu sambil membaca - entah itu buku yang kebetulan sedang saya bawa atau aplikasi Wattpad di ponsel saya. (Yah, selama koneksi wi-fi di sana lancar-lancar saja.)
Bahkan, saking cintanya dengan buku, dari kecil selalu meminta almarhum Papa (hiks, jadi kangen!) membelikan buku, terutama saat beliau sedang tugas dinas ke luar kota atau keluar negeri. Satu saja sudah senang. Sama senangnya dengan berteman sama pencinta buku, sehingga bisa saling tukar-pinjam serta berdiskusi.
Pernah juga jatuh cinta dengan sesama pencinta buku. Berdiskusi tentang buku memang jauh lebih menyenangkan daripada menggosipkan (kejelekan) orang lain. (Yah, meskipun mungkin kejelekan itu benar adanya.) Saya juga tidak begitu suka ke mall, kecuali tempat makan dan toko bukunya. Saya juga lebih memilih berlama-lama di perpustakaan. (Masih zaman? Anggap saja iya!)
Tidak hanya buku bacaan, buku tulis pun saya suka. Makanya, kalau ada majalah berhadiah notebook atau diary lucu, saya sering tergoda untuk membeli. Tidak hanya itu, jika ada yang memberikan saya buku tulis atau agenda lama (tentu, dengan syarat masih banyak halaman yang tersedia), saya juga senang. Pasti terpakai kok, mengingat saya suka juga menulis, hehe.
Bisa dibilang, masih ada lagi hal lain yang membuat buku sangat berjasa bagi saya - mulai dari membunuh kebosanan akut hingga membantu saya tetap 'waras'. Meski tidak pernah termasuk murid dan mahasiswi berprestasi selama di sekolah dan saat kuliah, setidaknya saya tidak kekurangan stok bahan pembicaraan. Daripada sekedar bergosip atau tiap ketemu yang ada malah ditanya yang 'itu-itu' terus. Mulai dari perkara status ("Kapan kawin?") hingga urusan berat badan ("Kok gendutan?") Hehehe...
Sepertinya, setiap hari akan selalu menjadi Hari Buku bagi saya. Sekian.
R.
(Jakarta, 26 April 2016 - 11:00)

Selasa, 26 April 2016

"TENTANG SEDIH"

(Dari #puisimalam di @nulisbuku , 23 April 2016 - 23:00 - 00:00)

Sedih,
terlalu lama kau buatku pedih
Mata ini basah oleh perih
Jiwa ini masih merintih

Aku membenci sedih yang tak berujung
Kapan dia akan buntung?
Dengan bahagia, aku ingin kembali tersambung

Sedih itu menerorku
Bahagia terancam luruh bagai debu
Hati terganggu oleh hantu masa lalu

Aku sedang berusaha
mengenyahkan sedih dengan sedemikian rupa,
meski dia masih bercokol di ruang yang sama

Wajahmu ingatan sedih di benakku
Kenapa kamu yang harus jadi hantu?
Kenapa kita tidak seperti dulu?

Kau mungkin berbeda kini,
tak lagi peduli,
meski sedih masih terpancar di mata ini

Mungkin kau bahagia
Demimu aku berpura-pura,
seakan sedih tak pernah ada
lebih nihil dari fatamorgana

Mungkin jarak juga berperan
perlahan menghapus kesedihan
menggantinya dengan sekedar kenangan

Sedih terpedih berbalut sunyi
Ada redam pada retaknya hati,
meski entah kapan memulihkan diri

Biarkan #puisimalam jadi pelarian
bagi jiwa-jiwa sedih yang tersesat
dalam kabut nestapa yang pekat

Ada sedih di balik bungkamku
Kau hanya tertawa, seakan aku lucu
Sungguh, kadang aku ingin membunuhmu

Rasanya mata batinmu telah tumpul
Kau biarkan sedihku terkumpul
menunggu murka yang siap balas memukul

Banyak yang bisa dilakukan dengan kesedihan
Diam...atau siap menghantam penuh dendam?

R.

Jumat, 22 April 2016

"MEMAKNAI HARI KARTINI TANPA HARUS (SEKEDAR) JADI MANIAK BERKEBAYA DALAM SEHARI"

Sebelum ada yang keburu jutek gara-gara judul di atas dan lantas menuduh saya anti kebaya, sinis, tidak nasionalis, hingga tidak menghormati 'Ibu kita' yang satu ini, silakan baca dulu sampai habis.
Saya tidak anti kebaya, tapi juga bukan maniak. Apa lagi, sekarang kebaya sudah banyak modelnya, sehingga tidak membosankan atau terkesan kuno. Kebaya zaman sekarang juga tidak melulu pas badan atau ketat sekalian, sehingga saya yang memang berbodi 'plus-size' dan memang aslinya tidak suka dengan yang bikin sesak dapat cukup berbahagia karenanya.
Lalu, kapan saya pakai kebaya? Biasanya saat menghadiri pernikahan. Saya bahkan tidak pernah mengenakannya saat Hari Kartini. Kenapa? Ya, rasanya tidak ada perlunya. Untuk apa, coba? Kemana-mana saya lebih banyak naik motor (pakai jasa Gojek, bukan naik sendiri karena memang tidak punya) atau bus. Taksi mahal dan tidak setiap hari saya bisa naik mobil. Kalau sampai rela ribet sedemikian rupa hanya supaya ada yang bilang cantik atau cah ayu ala putri Jawa, terima kasih, deh. Masalah sudah banyak, jadi untuk apa menambah kerepotan bagi diri sendiri hanya untuk sesuatu yang rasa-rasanya kok, lebih banyak superfisial ketimbang substansial? Kalau perempuan lain masih mau berbuat demikian, terserah mereka. Tidak ada yang melarang.
Saya sinis? Tidak nasionalis? Hei, tunggu dulu. Memangnya hanya kebaya yang jadi lambang nasionalisme bangsa ini?
Bagi saya, perayaan Hari Kartini sudah terlalu lama kehilangan makna. Tiap tahun itu-itu saja, lebih pada sibuk mengurusi kebaya. Yang gila, masih ada saja lomba masak, fashion show, hingga semua yang labelnya serba 'domestik'. Belum lagi iming-iming diskon agar makin pada suka belanja, bahkan untuk sesuatu yang belum tentu beneran mereka butuhkan. Kegiatan serupa juga masih suka diadakan lagi pada Hari Ibu tanggal 22 Desember (yang maaf, lagi-lagi salah kaprah yang sepertinya sengaja dibiarkan kebablasan, karena sebenarnya ini Hari Perempuan Indonesia - bukan sekedar Ibu saja.)
Saya sinis? Biar saja. Ini memang bisanya patriarki 'mengakal-akali' - hanya agar kita semakin terlena dan terus terjebak dalam formalitas kosong belaka. Lagi-lagi yang digembar-gemborkan dari Kartini selalu sama: kebayanya, kelembutannya (padahal coba baca isi surat-surat beliau, deh!), dan statusnya sebagai istri kesekian yang mau dipoligami. Sekian. Belum lagi peran beliau yang seakan semakin 'dikerdilkan', hanya karena lebih banyak 'menulis surat' - bukannya ikut berperang dengan senjata. (Wong beliau putri bangsawan. Mana boleh waktu itu? Keluar rumah saja dilarang!) Tidak seperti pahlawan perempuan lain, seperti Cut Nyak Dien, misalnya. Anehnya, saya tidak pernah mendengar Pangeran Diponegoro dan Ki Hajar Dewantara dibanding-bandingkan dengan begitu sengitnya.
Lebih banyak 'menulis' saja? Bukankah semua tulisan adalah hasil dari buah pemikiran manusia, tempat lahirnya gagasan-gagasan - terutama yang demi kemajuan bangsa?
Kenapa tidak ada inovasi yang lebih berguna bila memang masih ingin merayakan Hari Kartini? Seperti memberikan beasiswa gratis kepada anak-anak perempuan dari keluarga yang kurang beruntung, misalnya. Daripada anak-anak malang itu nantinya malah terancam putus sekolah, terpaksa menikah dini, hingga rentan jadi korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Atau mengadakan lomba menciptakan aplikasi yang dapat membantu perempuan, misalnya: aplikasi HELP (http://magdalene.co/news-770-digital-application-to-help-women-in-danger-.html) yang dapat membantu perempuan saat berada dalam bahaya di jalanan.
Cukuplah perayaan Hari Kartini dengan cara yang itu-itu saja. Saya bosan. Memangnya semua perempuan hanya bisa jadi boneka Jawa berkebaya?
R.
(Jakarta, 21 April 2016 - 15:00)

Kamis, 21 April 2016

"SESAK"

Aku tak paham rasa takutmu
Adakah ancaman di balik suksesku?
Berabad-abad sudah berlalu
Ah, ternyata kau masih seperti yang dulu

Khawatirmu, aku bakalan angkuh
Aku akan lupa diri dan lantas menindasmu
Ah, lagi-lagi kau mengeluh
Dari dulu, argumenmu masih yang itu-itu

Kapan kamu sudi membuka mata, hati, dan benakmu?
Ah, harga dirimu masih terjebak di masa lalu
hingga mengerdil oleh bekunya waktu
sementara kamu masih berusaha mencegahku maju

Ah, kamu masih di situ-situ
sementara aku sudah lelah dan muak, tahu?
Kamu sudah terlalu lama, terlalu biasa menindasku
hanya karena merasa itu hak dan kewajaranmu

Jujur, paranoia-mu yang membuatmu angkuh
Aku takut berakhir dalam penjara buatanmu, bukannya tak membutuhkanmu
Mampukah kamu memandangku sebagai manusia yang juga utuh?
Jika benar memang cinta, harusnya sesakku ini membuatmu luluh

Sekarang, biarkan aku sebentar dengan buku-buku
Kalau masih takut atau enggan berdiskusi denganku,
di belakangku ada pintu
Ya, kamu bisa keluar dari situ

Ya, aku membebaskanmu...

R.
(Jakarta, 21 April 2016 - 14:30)

Rabu, 20 April 2016

Catatan Mariana Amiruddin: Mengembalikan Makna Emansipasi Hari Kartini

Catatan Mariana Amiruddin: Mengembalikan Makna Emansipasi Hari Kartini: Oleh: Mariana Amiruddin Apakah kita pernah berdebat tentang Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar terutama siapa yang paling ...

"TIGA (3) JENIS MANUSIA SAAT PATAH HATI"

Banyak yang bisa menjadi penyebab patah hati, meski seringnya sih, karena putus cinta. Berhubung demikian, maka ada tiga (3) jenis manusia saat patah hati:
1. Yang merasa sepertinya dunia telah berakhir.
Tidak masalah berapa lama hubungan itu berjalan. Tidak peduli putusnya karena salah satu (ketahuan) selingkuh, ribut karena beda prinsip, hingga main ditinggal pergi begitu saja. (Catatan khusus: jika maut berperan dalam putusnya hubungan ini, nampaknya butuh penanganan khusus dari yang ahli dan dalam waktu yang belum tentu bisa dipastikan.) Rasanya, hidup seperti kehilangan arti. Menjalani hari-hari tanpa semangat lagi. Tak ada bahagia di hati, meski mungkin secara sosial masih berfungsi. Bila tidak, lebih banyak mengurung diri. Keluarga dan para sahabat terdekat cemas setengah mati. Ada juga yang akhirnya tidak tahan dan pergi. (Susah juga, sih.) Yang tidak (mau/bisa) mengerti atau memang jahat memanfaatkan 'kejatuhan' ini untuk mem-bully.
Saran: 
Wajar bila bersedih, marah, kecewa, dan merasa terluka. Namanya juga manusia biasa. Namun, jangan lupa dengan tetap menyayangi diri Anda. Bahaya bila terlalu lama 'larut' dalam perasaan seperti ini, mulai dari stres, depresi, hingga...ingin menyakiti/membunuh orang lain (terutama si penyebab patah hati) atau diri sendiri. Hiiih!
Sering-seringlah bergaul dengan mereka yang berpikiran positif dan optimis, namun juga dapat mengerti kondisi dan situasi Anda - sehingga tidak terdorong untuk menghakimi atau memaksa Anda untuk segera move on. Kadang sekedar niat baik dan pikiran positif tidak cukup. Salah bicara sedikit saja bisa jadi ribut.
Sibukkan diri dengan banyak kegiatan positif, seperti berkumpul dengan keluarga, jalan dengan sahabat, atau ikut komunitas hobi hingga kegiatan sosial. Banyak-banyak berdoa dan mencoba liburan ke tempat baru, sekalian merasakan suasana baru. Bila sedang ingin sendiri karena merasa kembali dicekam kesedihan, berilah ruang dan waktu bagi diri sendiri. Kalau ternyata sedang tidak ingin sendirian, tidak perlu gengsi. Dekatkan diri pada keluarga dan sahabat yang mengerti. Kalau perlu, untuk sementara jauhkan diri dari lagu-lagu, novel, dan film-film seputar patah hati yang dapat memicu kembali rasa sedih.
Pada saat-saat seperti ini, Anda mungkin akan tergoda untuk memulai 'lembaran baru' dengan orang lain, terutama dengan alasan ingin cepat 'move on' atau enggan kelamaan sendirian/melajang. Pastikan Anda memang benar-benar sudah siap, bukan sekedar mencari pelarian. Kasihan bila orang yang sungguh menyayangi Anda hanya dijadikan pelampiasan, alias 'rebound'...
2. Yang selalu ingin terlihat tegar di luar, tapi sebenarnya masih 'remuk' di dalam.
"Nggak apa-apa. Nggak ada dia aku juga nggak mati, kok."
"Biarin aja dia pergi. Nggak sudi gue nangisin doi."
"Tenang, gue nggak akan secengeng atau se-mellow itu. Emangnya gue alay?"
Yakin? Yakin saat Anda tertawa, itu bukan tawa miris? Yakin rahang Anda tidak pegal gara-gara (merasa wajib) tersenyum lebar, padahal dalam hati merasa tertampar?
Saran:
Ingin berusaha tegar itu bagus, tapi ngapain harus 'pura-pura' segala? Kata siapa Anda tidak boleh menangis, meluapkan kekecewaan, kemarahan, dan sakit hati Anda? Namanya juga manusia biasa. Terlepas dari penyebab berakhirnya kisah kasih Anda dengan si dia, perasaan gagal itu pasti ada. Jadi, lupakan acara drama berupa perbandingan kisah cinta Anda dengan mereka, termasuk akhir cerita dan bagaimana mereka menangani patah hati mereka. Ini bukan balapan. Tidak perlu berbangga hati dan memamerkan diri bila Anda (merasa) sudah lebih cepat 'move on' daripada mereka. Pastinya cara tiap manusia beda.
Ingat, mengacuhkan luka yang sebenarnya masih ada sama saja dengan membiarkan diri 'mati keracunan dengan perlahan-lahan'. Nggak mau, 'kan? Paling parah bila Anda membiarkan 'racun' itu mendikte Anda dalam berperilaku. Seorang sahabat (yang lebih bijak) pernah bilang begini:
"Semua orang pernah disakiti dan patah hati. Sebenarnya tinggal memilih: mau berusaha sembuh dan menjadi pribadi yang jauh lebih baik atau malah menjadikan luka masa lalu sebagai alasan - atau bahkan pembenaran - untuk menyakiti orang lain?"
Pendapat di atas tampaknya juga sejalan dengan pendapat pensiunan profiler FBI John Douglas dalam buku autobiografinya (semoga nggak salah kutip, ya?):
"Semua psikopat, pembunuh berantai, pemerkosa, dan penjahat sejenis yang pernah saya wawancara selalu banyak alasan di balik semua kejahatan mereka. Orang tua abusive, pernah jadi korban bullying, sering dibuat patah hati...banyak sekali. Namun saat saya tanya apakah mereka sadar perbuatan mereka salah, jawaban mereka iya. Berarti mereka memilih dong, untuk menyakiti orang lain?"
Akui saja Anda sedih, tanpa perlu menunjukkannya ke semua orang. Kalau sebal melihat orang lain mellow (terutama lewat posting mereka di social media), Anda bisa memilih untuk tidak melihat dan membaca. Mudah sekali, bukan?
Intinya, urus saja dulu luka sendiri sebelum mengurus luka orang lain. Lagipula, cara Anda belum tentu berhasil untuk mereka - begitu pula sebaliknya. Santai saja.
3. Yang realistis dan berusaha menyeimbangkan diri.
Jika Anda sudah berada pada tahap ini, selamat. Anda bukan tipe yang mudah berlarut-larut dalam kesedihan, namun juga tidak sok tegar - dan bahkan sengaja memamerkannya ke orang lain. Anda tidak akan gengsi dalam mengakui perasaan yang sebenarnya. Kalau memang lagi sedih, ya sedih saja. Tidak perlu berpura-pura tidak ada apa-apa. Tapi, Anda juga bukan tipe yang selalu haus perhatian hingga kesannya kayak minta dikasihani sejuta umat. Bahkan, sebisa mungkin Anda tidak terlalu sering update status tentang betapa sedihnya Anda di social media. Anda masih sadar, bahwa entah bagaimana pun caranya, hidup tetap berlanjut. Anda tetap berusaha berfungsi secara sosial sembari mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk kembali meraih bahagia. Bahkan, kalau bisa Anda tetap berusaha membahagiakan orang lain, meski sebenarnya Anda sendiri sedang sedih. Percayalah, tidak banyak yang bisa sekuat ini.
Kapan Anda beneran 'move on'? Hanya Anda yang bisa memutuskan. Semoga segera, karena hidup ini terlalu singkat dan berharga untuk terlalu lama berduka.
Saran:
Lakukanlah yang sudah Anda lakukan. Anda bisa menerima dengan ikhlas bahwa tidak semua berada dalam kendali Anda. Bahkan, mungkin Anda juga bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang senasib: jujur dengan perasaan sendiri dan berusaha tetap tegar, namun tanpa terkesan pongah dalam penyangkalan.
Jadi, bagaimana cara Anda menangani patah hati?
R.
(Jakarta, 17 April 2016 - 7:00)

Senin, 18 April 2016

"ENGGAN AKU JADI SELEBRITI INDONESIA"

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Kata mereka, aku bakal kaya
bisa punya semua, disukai siapa saja
Kata mereka, aku akan bahagia
Namun, hidup ini harus rela jadi milik mereka

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Mungkin, bagimu aku terdengar munafik luar biasa
Siapa yang tidak ingin terkenal di layar kaca,
bergelimang harta, wajahnya dimana-mana?
Siapa yang tidak ingin berprestasi, bawa pulang Piala Citra?

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Lelahnya diwawancara
Pertanyaannya itu-itu saja
Klarifikasi gosip dengan fakta
Seakan dunia perlu tahu semua

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Jarang ditanya karya
atau bahkan proyek berikutnya
Lebih sering ditanya lagi pacaran sama siapa,
kapan kawin dan kenapa belum punya anak juga?

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Pasti ada saja yang tidak suka
Salah sedikit dicela-cela
Aib setitik dibuka-buka
Jadi bulan-bulanan media massa

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Lagi tinggi, dipuja-puja
Saat jatuh, dihina-hina
bahkan dilupakan begitu saja
Namanya juga manusia biasa
bukan dewa, jauh dari sempurna

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Saat cerai, semua mau laporan lengkapnya
termasuk anak nanti ikut siapa
atau dapat sisa harta berapa?
Ah, memangnya itu urusan mereka?

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Sepertinya, butuh kesabaran luar biasa
Terlihat dermawan, disangka cari muka
Berbuat baik, dituduh pencitraan belaka
Ajaib bila tidak sampai sakit jiwa
Tantangannya serba gila

Enggan aku jadi selebriti Indonesia
Suka ditanya, lagi pakai baju (merek) apa
Kenapa menggemuk dan apa pasangan masih cinta?
Apakah anak nanti akan berkarir di jalur yang sama?
Bila sakit dan sakitnya lama, disangka ada yang kirim 'guna-guna'

Sungguh, aku enggan
Rasanya melelahkan
Untung saja bukan...

R.
(Jakarta, 16 April 2016 - 14:30)

Sabtu, 16 April 2016

"CATATAN TERAKHIR"

Aku adalah manusia terakhir di kota ini. Saat ini, aku tengah bersembunyi dalam sebuah bunker di bawah lantai rumahku. Persediaan makanan menipis. Entah berapa lama lagi aku dapat bertahan sendirian begini. Bantuan belum juga datang. Peralatan komunikasi sudah dirusak semua dengan brutal.
            Ini mungkin akan menjadi catatan terakhirku. Di luar sana, anarki tengah merajalela. Lucunya, kali ini bukan gara-gara manusia.
            Maaf, tidak lucu sebenarnya. Mengerikan malah.
            Ada yang bilang, pemanasan global yang semakin parah memicu perubahan perilaku dan anomali fisik para binatang di luar sana. Sebuah lompatan evolusi yang ekstrim. Namun, ada juga yang berteori begini:
            Ini gara-gara program rahasia pemerintah berupa percobaan ilegal pada semua jenis binatang yang dapat mereka temukan di seluruh dunia. Entah bagaimana caranya, mereka telah menyuntikkan sel-sel yang dapat mengembangkan ‘kecerdasan buatan’ atau AI (Artificial Intelligence) ke dalam otak para binatang. Jika memang benar adanya, maka mereka telah berani menentang takdir dengan mengubah ciptaan Tuhan.
            Ya, aku berada di zaman semua binatang dapat berbicara, layaknya manusia. Besar, kecil, liar, jinak, berbisa, bercakar, berbulu, bersisik...semuanya. Seorang lelaki sampai mati terkena serangan jantung gara-gara anjing peliharaannya mendadak mengajaknya bicara.
            Lalu, serangkaian kekacauan pun tercipta. Rupanya, terlalu lama mereka menyimpan dendam, berabad-abad pula – dengan kisah-kisah penindasan manusia terhadap manusia yang diceritakan tiap generasi. Tahu-tahu banyak yang mogok, enggan menjadi binatang peliharaan. Berikutnya mereka menuntut hak pendidikan dan kesetaraan. Bahkan sampai ada partai khusus binatang di kancah politik segala.
            Ketika Singa akhirnya terpilih menjadi gubernur, keadaan benar-benar berubah – terbalik 180 derajat! Mereka ingin menghancurkan semua bangunan beton dan kembali membangun hutan belantara. Para napi di penjara dijadikan santapan singa, macan, dan para karnivora lainnya. Lumayan, tingkat kriminalitas akibat manusia langsung menurun tajam. Tapi...
            Manusia yang masih hidup adalah manusia yang ‘tunduk’. Menjadi budak, peliharaan, atau...

            “AAARRRGGGHHH!!!”

            Atap bunker jebol. Terdengar dengusan bercampur geraman. Buku tulis dan pena itu terjatuh di lantai, terciprat darah. Tak lama, terdengar debuman keras saat delapan pasang kaki besar meloncat kembali ke atas, meninggalkan bunker yang kini sunyi total...


Kamis, 14 April 2016

"6 ASUMSI UMUM ORANG INDONESIA TENTANG CEWEK YANG (SELALU KELIHATAN) SENDIRIAN..."

Sebagai cewek yang sering (kelihatan) jalan sendirian, pasti sudah kenyang banget dong, dengan komentar yang itu-itu saja? Sering ingin menyahut pedas, tapi ngapain juga? Banyak juga yang memilih cuek. Biarkan orang berpikir sesuka mereka. Toh, saya merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa - apalagi sampai segalanya. Urusan saya ya, urusan pribadi saya. Sekian dan terima kasih.
Ini dia enam (6) asumsi umum orang Indonesia tentang cewek yang (selalu kelihatan) jalan sendirian (apalagi malam-malam):
1. Tidak punya teman.
"Sendirian aja? Temennya mana?" Itu merupakan sapaan khas yang lazim diterima, terutama saat berkunjung ke tempat baru. Mungkin niat yang ngomong hanya untuk ramah-tamah, cuma bisa jadi agak 'ganggu' bila keseringan. Misalnya, gara-gara sering ke tempat yang sama sendirian, sapaan yang diterima jadi begini:
"Perasaan saya lihat Mbak sendirian terus, deh. Nggak apa-apa, tuh?"
Kalau lagi nggak mood alias merasa terganggu, jangan heran bila mendengar jawaban saya:
"Saya sehat-sehat saja. Mas/Mbak udah pernah coba sendirian?"
Galak? Biar saja. Yang penting nggak terlalu diusilin. Mungkin karena kultur orang Indonesia yang pada dasarnya memang doyan kumpul, baik dengan keluarga atau teman. Nggak ada yang salah. Cuma, ada kalanya seseorang - mau cowok atau pun cewek - memang lagi butuh sendiri. (Apalagi bila kebetulan Anda penulis yang lagi cari inspirasi.) Saya masih suka sih, kumpul-kumpul sama teman dan keluarga. Tapi, tidak berarti setiap saat harus sama mereka, 'kan?
2. Dianggap aneh atau kesepian, hingga depresi.
Bolehlah menyukai sinetron, telenovela, opera sabun, dorama (drama Jepang), atau K-drama (drama Korea) yang lagi ngetop-ngetopnya, sampai-sampai otomatis berasumsi bahwa cewek yang lagi duduk sendirian di kedai kopi dengan secangkir latte di depannya itu pasti sedang sedih, baru putus cinta, atau sejenisnya. Kalau tidak kenal-kenal amat, tidak usah sotoy (sok tahu) kalau tidak mau malu karena salah. Bisa saja cewek itu lagi cari ketenangan. Mungkin saja saat itu dia lebih berbahagia begitu, daripada kumpul-kumpul sama orang banyak, tapi buntutnya malah merasa tidak nyaman gara-gara ada yang memamerkan kesuksesan atau kekayaan...atau malah menggosipkan orang! Males banget, 'kan?
Pernah ada juga yang terang-terangan menyebut saya aneh. (Banyak malah! Hahaha.) Saya hanya tertawa. Terserah mereka. Belum tentu juga mereka berani melakukan hal yang sama. Tidak perlu membuktikan apa-apa.
3. Sering dikira masih lajang.
Contoh1:
Tukang ojek: "Neng, masih sendirian?"
Saya: "Emang kenapa Abang mau tahu?"
Tukang ojek: "Kalau masih sendirian, Abang lagi sangat butuh pendamping, nih!"

Contoh2:
Mbak penjual soto: (mengangguk pada abang tukang sate sebelum tersenyum pada saya) "Belum punya istri itu, Mbak."
Saya: (menaikkan sebelah alis) "Terus? Buat Mbak aja kalo Mbak sendiri diem-diem 'ngebet. Pake nyebut-nyebut 'belum punya istri segala'."
Begitulah. Bahkan orang tak dikenal yang putus-asa pun nekat melamar dan orang tak dikenal lainnya sampai berani asal menjodohkan. Lucu sekali, bukan?
4. Kalau nggak dikira lajang, dikira punya pacar/suami yang tidak mengurusi.
"Kok sendirian aja? Pacar/suaminya mana?" (Terjemahan: "Harusnya Mbak ditemenin pacar/suami.")
Aduh, capek banget ya, meladeni orang kepo? Mau Anda cewek lajang, sudah punya pasangan, baru putus/cerai, baru ditinggal wafat, sapaan sotoy nggak kira-kira itu kadang bikin pengen 'menerbangkan' sepatu ke muka yang ngomong. (Eh, jangan! Sayang sepatunya.)
5. Tidak butuh siapa-siapa.
Wooii...mikirnya nggak usah sampai sejauh itu, kali! Biasa aja. Nggak usah lebay. Memang darimana situ tahu? Hati-hati, karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan, lho. Tidak perlu nyinyir juga dengan bilang: "Wah, pasti feminis. Perempuan mandiri, gak butuh laki-laki..."
Kalau cewek itu memilih sendirian karena tidak tahan dengan sosok seksis dan posesif yang bikin sesak napas, saya mah, tidak heran. Tapi soal tuduhan 'tidak butuh siapa-siapa' itu mending Anda tarik lagi, deh. Cewek itu pasti masih butuh, tapi bukan sembarang orang. Boleh dong, milih? Pertanyaannya: apakah mereka cukup bisa bikin cewek itu merasa aman hingga akhirnya membutuhkan?
6. Dianggap 'cari mati'.
Sedih, zaman ini masih ada saja yang berpikir primitif dan ekstrim seperti ini. Cewek yang lagi sendirian selalu (dianggap) jadi sasaran kejahatan termudah. Kalau sampai kejadian (amit-amit!), yang salah ceweknya? Bukan! Yang salah penjahatnya. Bagaimana, sih? Selama masih banyak yang merasa sah-sah saja mengganggu cewek yang lagi sendirian di jalan, mau cewek se-Nusantara dikurung di rumah pun juga percuma. Bukan alasan!
Lagipula, banyak juga kok, cewek yang jago bela diri sekarang. Kalau masih sayang sama ibu/istri/saudari/putri/sahabat perempuan, jangan suka jahat sama perempuan lain, deh. Ingat, itu bisa saja kejadian sama perempuan yang Anda kenal, siapa pun mereka. Lain cerita bila sayangnya Anda sudah jadi bedebah dengan nurani yang buta.
Sayang sekali, asumsi-asumsi orang Indonesia seputar cewek yang sering (kelihatan) jalan sendirian masih belum 'kreatif', alias mandek di sini-sini saja. Kalau ada yang mengira kami ibarat agen rahasia, mata-mata, atau gadis berkekuatan super, mungkin bakalan lebih lucu dan seru. Mungkin juga tidak ada yang akan mengganggu.
R.
(Jakarta, 14 April 2016 - 12:15)

"SUATU MALAM DI WARUNG AYAM PANGGANG..."

"Meong..."

Sepertinya ada yang kelaparan
Suaranya nyaring bukan kepalang
Pasti kerjanya berkeliaran
di jalan-jalan, sepanjang malam

"Meoong...."

Pasti sangat kelaparan
Suaranya nyaring minta gratisan
Hobinya menyelinap di antara kaki-kaki meja dan orang
sampai-sampai ada yang menjerit ketakutan

"Meooong..."

Ternyata si mahluk berkaki empat
berbulu lebat, dengan ekor mencuat
Geraknya pun cepat
Lengah sedikit, pesanan Anda disikat

HAP!

"Ayamkuuu!"

Sudahlah, relakan saja
Nabi saja sangat sayang padanya
Lihat, sekarang dia tenang tak bersuara
Makannya lahap tak terkira
Semoga sesudahnya, dia cukup kenyang dan bahagia
serta tidak lagi mengganggu siapa-siapa...

R.
(Jakarta, 14 April 2016 - 10:20)

Minggu, 10 April 2016

"KOK NGGAK NGAJAK-NGAJAK?"

"Iiihhh, ini fotonya lagi dimana, sih? Kok nggak ngajak-ngajak?"
"Curaaang, aku ditinggaaal!"
"Elo gitu, ya. Tiap kali gue ajak ngumpul selalu sibuk, tapi giliran sama dia selalu bisa. Emangnya kita bukan temen, ya?"
Dan masih banyak lagi. Beberapa komentar di atas pasti sering muncul saat seseorang mem-posting sesuatu di laman akun social media mereka. Biasanya berupa foto-foto atau pemberitahuan mengenai lokasi mereka. (Biasanya karena GPS pada akun social media mereka diaktifkan. Misalnya: mereka lagi di mall apa, sama siapa, dan sedang makan apa atau nonton film apa.) Tentu, komentar-komentar di atas bisa punya tiga arti:
1. Teguran biasa/sekedar bercanda.
2. Ekspresi rasa kangen. Nah, yang ini sering kejadian. Karena terlalu gengsi bilang kangen, keluarnya jadi berupa tuduhan.
3. Tuduhan serius.
Kalau hanya menyapa - apalagi bila sudah lama tidak berjumpa atau kumpul bersama, serta sudah saling mengenal gaya bercandaan masing-masing - tidak apa-apa. Kalau karena kangen? Ngapain gengsi? Daripada bikin yang sudah posting merasa tidak enak dan (apa iya?) harus selalu menjelaskan segalanya pada Anda, kenapa tidak berkomentar yang terdengar lebih positif dan jauh dari kesan 'menuduh'? Contohnya:
"Waaah, asyik pada ngumpul! Kapan-kapan aku mau ikut juga, dong."
Alternatif lain? Daripada menunggu diajak, kenapa tidak mengajak duluan? Gampang, kok. Manfaatkanlah semua akun social media di mana Anda saling terhubung dengan teman-teman Anda selain nomor ponsel mereka. Ya, apalagi bila kalian masih tinggal satu kota. Apa susahnya? Kalau masalah jadwal sibuk, masih bisa diatur atau diatur ulang kalau mau. Yang penting niatnya, 'kan?
Lagi susah ketemuan? Ya, mungkin waktunya saja yang belum tepat. Bersabarlah. Saling mengobrol lewat social media sebagai pelepas kangen dulu juga bisa.
Yang paling repot itu komentar bernada menuduh, apalagi sampai pakai acara marah-marah segala. Terlepas dari niat yang posting (yang sebenarnya juga urusan pribadi mereka, kali), menyindir atau sekalian menuduh mereka pamer atau hang-out dengan yang lain tanpa mengajak Anda juga bukan tindakan bijak. Apalagi bila Anda menyerukan kekesalan Anda di kolom komentar, di mana tidak hanya Anda dan mereka saja yang bisa membacanya, namun juga teman-teman lain yang bisa melihat. Sayang sekali bila reputasi Anda jadi rusak, hanya gara-gara terlihat sebagai teman posesif atau pacar cemburuan. Yah, jadi nggak berkelas, dong?
Paling parah bila salah-paham semacam ini bisa berlanjut menjadi pertengkaran...hingga musuhan. Ada yang sangat 'lucu' gara-gara ini: semua teman di dalam foto atau posting tersebut sampai diblokir segala!
Intinya, semua bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik. Tidak perlu pakai emosi dan bikin drama segala. Kalau belum apa-apa sudah 'sensi' duluan alias merasa 'ditinggal' hanya gara-gara melihat foto-foto teman-teman segeng nongkrong tanpa (mengajak) Anda, silakan introspeksi dulu sama diri sendiri. Bisa jadi sebelumnya Anda sering menolak ajakan mereka karena terlalu sibuk, sehingga lama-lama mereka enggan mengganggu Anda. Mungkin juga Anda pernah tanpa sengaja menyinggung perasaan mereka, namun lupa atau malah tidak peduli, alias tidak merasa bersalah. Kasus lain, bisa saja itu salah satu random moment. Kebetulan saja waktu itu mereka semua lagi papasan lalu nongkrong bareng - benar-benar tanpa rencana alias spontanitas belaka. (Memangnya siapa Anda yang bisa melarang takdir?)
Selain itu, seperti yang sudah pernah ditulis oleh Samuel Mulia dalam kolom yang suka baca di koran hari Minggu (banyak banget sih, sampai lupa menyebutkan judulnya secara spesifik!), ada kalanya sahabat terdekat tidak sedang memikirkan kita. Bukan, bukan karena benci atau apa. Selain karena sibuk dan situasi berubah (pekerjaan baru, teman-teman baru, pacar baru, pernikahan, punya anak, dan sebagainya), bisa saja mereka sedang butuh melakukan sesuatu tanpa perlu kehadiran Anda selalu. Anda pasti juga sama, 'kan? Ada kalanya Anda hanya ingin sendirian tanpa diganggu siapa-siapa, bahkan mereka yang paling Anda sayang sekali pun.
Jadi, ngapain juga terlalu dimasukkan ke dalam hati? (Tentu, lain cerita kalau sebelum posting tersebut, Anda memang sedang bermasalah dengan mereka. Entahlah, seperti biasa, saya juga tidak tahu segalanya.)
Ada pengakuan seorang sahabat yang sepertinya sejalan dengan pendapat kolumnis favorit saya di atas:
"Gue sayang sama semua temen gue. Tapi, ada kalanya gue hanya ingin nongkrong berdua saja dengan salah satu dari kalian. Gantian, kok. Bukan berarti pilih kasih, tapi sekedar quality time berdua. 'Kan butuh juga kita."
Iyalah. Ada kalanya berdua terasa lebih privat dan memudahkan seseorang untuk lebih terbuka. Lagipula, tidak semua orang bersifat ekstrovert.
Bayangkan waktu dan tenaga (termasuk pikiran dan perasaan) yang dapat kita hemat bila mau langsung fokus pada duduk permasalahan yang ada (sebenarnya), ketimbang terlalu terbawa emosi negatif. Bicara baik-baik tanpa ngelantur kemana-mana, menuduh yang bukan-bukan, hingga terlalu berkutat pada yang sudah lewat. Bukankah lebih baik demikian daripada membuat diri sendiri kelelahan, apalagi sampai bikin jengah semua orang?
R.
(Jakarta, 6 April 2016 - 12:00)