Selasa, 31 Mei 2016

“TANDA-TANDA ANDA SUDAH KEBANYAKAN SHARING INFO DIRI DI SOCIAL MEDIA”

Social media sudah sulit dipisahkan dari penggunanya. Manfaatnya juga banyak, terutama yang berkaitan dengan promosi. Mau berbagi info terkini, seperti berita terkini dari beragam portal sekaligus? Bisa. Mau jualan barang atau menawarkan jasa keahlian tertentu? Apalagi.
            Tidak hanya itu, social media juga dapat mempertemukan teman lama kembali dan mempererat hubungan dengan keluarga yang (sedang) jauh. Anda bisa saling bertukar kabar dengan tante di luar kota atau mengobrol dengan sepupu yang sedang kuliah di luar negeri. Jarak dan waktu pun teratasi. Berbagi info orang hilang hingga tips mencegah kejahatan? Bisa juga. Pokoknya banyak sekali.
            Tapi, social media juga ibarat kotak Pandora versi digital. Tidak hanya yang bagus-bagus, yang sebaliknya juga banyak. Salah social media? Bukan. Salah manusianya yang lagi-lagi berlebihan. Mulai dari ajang pamer macam-macam hingga saling sindir dan cela, bertengkar, hingga sebar-sebar aib orang. Sampai-sampai ada yang rajin menyindir perilaku sesama lewat posting di social media mereka, tanpa khawatir atau peduli bakalan dibenci. Yang hobi mengeluh di social media secara terbuka dan keterusan mereka cela-cela sebagai tukang cari perhatian dan kekurangan kasih sayang. Yang berantem lewat social media mereka sebut sebagai raja/ratu (pencipta) drama.
            Lalu, bagaimana dengan mereka yang hobi posting momen bahagia serta hal-hal positif lainnya? Ternyata juga tidak bebas kritikan dan celaan, tuh. Mulai dari dituduh pamer hingga hanya ingin melanggengkan pencitraan belaka, alias pura-pura bahagia meski sebenarnya tidak.
            Susah juga, ya? Standar tiap orang mengenai yang dianggap berlebihan pasti berbeda. Bisa jadi yang mereka anggap biasa saja jadi tampak lebay (berlebihan) di mata Anda. Mungkin saja niat Anda hanya ingin menegur dan mengingatkan mereka, namun soal salah strategi (termasuk pilihan kata) malah bisa jadi bumerang. Anda malah dipandang sebagai tukang nyinyir dan sok ikut campur urusan pribadi orang lain. Memang, semua orang bebas berpendapat. Namun, semua juga harus siap dengan risikonya. Tidak semua orang harus suka dan terima.
            Daripada terus saling serang di social media tanpa henti (alias sampai trolling), saya sendiri lebih memilih untuk membuat batasan sendiri. Menurut saya, ini tanda-tanda Anda sudah kebanyakan sharing seputar info diri di social media:
1.    Nyawa jadi taruhan
Ada alasan saya jarang update lokasi keberadaan saya di social media, apalagi saat sedang benar-benar sendirian dan di tempat sepi pula. Misalnya: tidak mungkin saya update status lokasi saat lagi jogging sendirian di tempat sepi. Alasannya? Selain sudah pernah dikuntit stalker tak dikenal selama enam bulan (http://ruangbenakruby.blogspot.co.id/2015/10/saya-pernah-dikuntit-stalker-tak.html), tidak pernah ada yang bisa benar-benar tahu niat maupun pikiran sesama manusia. Mungkin saya terdengar parno dan lebay, tapi sudah banyak sekali bukan, kasus pembunuhan bermotif dendam dari orang terdekat? Tahu Anda sedang sendirian di tempat itu, mungkin sekali Anda lebih mudah jadi sasaran. (Jangan juga terlalu pede dengan merasa bahwa Anda orang baik yang tidak pernah menyakiti siapa-siapa. Kadang ada juga orang gila yang kurang kerjaan.)
2.    Karir bisa terhambat atau bahkan hancur berantakan
Tidak perlu yang ekstrim seperti menjelek-jelekkan rekan kerja, bos, atau bahkan perusahaan tempat Anda bekerja secara terbuka. Meski Anda tidak memberitahukan akun social media Anda kepada pihak HRD tempat Anda bekerja, prosedur ‘screen-grab’ dari ‘orang dalam’ (baca: salah satu teman terdekat Anda yang diam-diam berkhianat) tetap membuat Anda bisa kena masalah. Selain itu, terlalu sering mengeluh tentang segala hal – meski tidak berkaitan dengan pekerjaan sekali pun – membuat Anda terlihat labil dan tidak dewasa. Boro-boro dapat promosi atau naik pangkat dan gaji. Dipertahankan juga belum tentu.
3.    Merusak hubungan antar manusia
Ini yang paling sering terjadi. Berawal dari saling sindir, berakhir dengan perang terbuka hingga akhirnya musuhan. Saling remove atau blokir sekalian, hingga ribut beneran di dunia nyata. Apa bedanya dengan berantem terus ditonton banyak orang di ruang publik? Jangan marah bila sebutan “raja/ratu drama” keluar khusus untuk Anda. Percayalah, tidak semua orang tertarik ingin melihat sinetron murahan buatan Anda. Masalah mereka sendiri pasti sudah banyak juga.
4.    Tuntutan hukum
5.    Rentan terkena gangguan jiwa
Entah itu berawal dari hobi foto selfie yang kebablasan, mudah stres karena terlalu peduli dengan komentar orang di social media, hingga mem-bully orang di dunia maya hanya karena Anda “bisa” dan setidaknya tidak di depan muka mereka, Anda sama-sama rentan terkena gangguan jiwa. Kebanyakan foto selfie membuat Anda jadi terlalu mengkhawatirkan penampilan luar hingga berpotensi terkena BDD (body dysmorphic disorder) atau tidak memperhatikan keselamatan jiwa sendiri (seperti sengaja ‘menyerempet bahaya’ demi mendapatkan foto selfie paling nge-hits, yang mungkin hanya akan bertahan di #trendingtopics barang beberapa hari saja.) Terlalu peduli dengan komentar negatif para internet troll dapat membuat Anda lupa dengan hal-hal lain yang lebih indah dalam hidup Anda dan seharusnya Anda syukuri. (Keluarga dan teman-teman di dunia nyata, mungkin?) Menjadi cyber-bully atau internet troll? Ah, masa Anda rela waktu berharga Anda terbuang percuma hanya untuk menjadi psikopat versi digital?
6.    Pencurian identitas
Seorang teman pernah mengeluh dan terpaksa menutup salah satu akun di social media miliknya gara-gara ini. Foto-fotonya sering dicuri dan status yang dia tulis sering di-copas (copy and paste) untuk akun ‘abal-abal’. Ngeri? Pastinya. Manfaatkan privacy setting untuk melindungi akun Anda serta sesekali gantilah password-nya – minimal sebulan sekali. Jangan mengundang atau add sembarang orang yang tidak begitu Anda kenal. Atur setting foto-foto Anda agar tidak bisa diunduh atau reshare. Posting seperlunya saja kalau bisa.
7.    Kecanduan akut pada social media
Suka stres dan galau sendiri bila tidak posting apa pun, meski sehari saja? Terkena sindrom F.O.M.O. (Fear of Missing Out), alias takut ketinggalan berita terbaru atau trend terkini? Silakan variasikan kegiatan Anda dengan lebih sering keluar rumah dan mengobrol sama orang-orang yang benar-benar dekat di sekitar Anda, tidak di hati saja. Lebih sehat pula.
Lalu, bagaimana dengan yang mudah sensi gara-gara posting orang lain di social media, bahkan meski topiknya seputar momen bahagia dan hal-hal positif lainnya?
1.    Seleksi bacaan atau tontonan Anda
Sama seperti ke toko buku, perpustakaan, toko DVD, atau nonton TV di rumah. Kalau Anda bisa memilih bacaan atau tontonan di sana, kenapa di social media jadi susah?
2.    Variasikan kegiatan Anda
Jika Anda memang benar-benar sosok yang berbahagia, silakan variasikan kegiatan Anda dengan sering-sering keluar rumah. Dengan demikian, hidup Anda tidak hanya terpusat pada melihat-lihat status orang lain di social media.
3.    Manfaatkan fitur ‘delete’, ‘unshare’, ‘unfollow’, hingga ‘remove’
Tinggal sekali klik, maka hilanglah semua status, foto, hingga posting mereka yang bikin Anda ‘sakit mata’. Harusnya gampang banget, ‘kan? Daripada Anda malah jadi kesal sendiri.
4.    Menutup akun social media Anda
Nah, yang ini juga jauh lebih gampang. Berhubung Anda tidak bisa mengatur-atur orang lain agar mau mengikuti keinginan Anda tapi isi laman social media mereka sudah bikin Anda eneg, mending Anda yang mengalah dan menutup akun social media Anda. Dengan demikian, mata Anda akan terbebas total deh, dari semua posting yang bikin Anda kesal setengah mati. Banyak kok, yang bisa hidup tanpa social media. Mereka baik-baik saja.
R.


Senin, 30 Mei 2016

"SENYUM LELAKI ITU..."

Siang itu, dia berterima kasih pada-Mu
atas salah satu ciptaan-Mu yang paling indah
yang telah membuka mata dan mengetuk pintu hatinya:
Senyum lelaki itu...

R.
(Jakarta, 28 Mei 2016 - 18:00)

Sabtu, 28 Mei 2016

"WILLA"

Aku terbangun di sebuah gubuk tua yang samar-samar kuingat sebagai rumahku, namun sendirian pagi itu. Tidak ada siapa-siapa. Aku tidak ingat atau pun tahu siapa keluargaku. Aku hanya ingat nama dan usiaku: Willa Smith, 14 tahun.
            Ah, gubuk tua ini kotor dan tak terurus. Sarang laba-laba dan debu dimana-mana. Anehnya, aku tidak sampai bersin. Nyaris tidak ada perabotan apa pun, kecuali ranjang lapuk di kamar tidur yang sepertinya juga milikku.
            Benarkah? Ah, entahlah. Aku bingung. Jangan-jangan semalam kepalaku habis terbentur sesuatu.
            Kuperiksa kepalaku sendiri dengan cara menyentuhnya. Tidak ada bekas luka, benjolan, atau pun rasa nyeri. Aku hanya tahu rambutku panjang, ikal, dan tebal.
            Aku menunduk dan melihat dua helai ikal gelapku yang melewati bahu. Ah, ternyata aku memakai gaun putih kusam selutut. Pakaian tidur? Ingin kucari pakaian lain untuk berganti, namun lemari pakaian pun tidak ada di situ. Aneh sekali.
            Merasa penasaran, akhirnya kubuka pintu kamar dan melangkah keluar.
            Tidak ada siapa-siapa. Ruang makan kosong dan jendela terbuka. Matahari bersinar cerah. Angin sepoi-sepoi berhembus masuk.
            Oke, ini benar-benar aneh sekali.
            “Halo?” panggilku. Tentu saja, tidak ada yang menjawab. Aku mendekati pintu keluar dan membukanya.
            Ternyata, gubuk ini berada di tengah-tengah hutan. Aku menunduk dan mencari-cari alas kaki yang kira-kira bisa kupakai. Tidak ada. Ah, sudahlah. Lagipula, sepertinya aku sudah terbiasa bertelanjang kaki, meski di hutan.
            Oh!
            Ada kilasan ingatan di benakku. Aku berlari-lari di hutan ini, memakai gaun namun bertelanjang kaki. Seorang anak laki-laki seumurku yang berambut ikal gelap dan pendek mengejarku. Kami sama-sama tertawa.
            Sepertinya aku kenal dia...
            Aku tertegun. Karena berjalan sambil melamun, tanpa sadar aku sampai di depan sebuah sumur tua yang dikelilingi pepohonan.
            Namun, entah mengapa, mendadak muncul perasaan tidak enak. Aku tidak berani mendekat, namun yakin bahwa sumur itu pasti dalam.
            Angin dingin berhembus lebih kencang dari sebelumnya, hingga mengibarkan helai rambutku. Aku bergidik, membayangkan lubang yang dalam, gelap, dan nyaris seperti terowongan tanpa akhir...
            Aku berbalik, lalu berlari dan terus berlari...hingga akhirnya tiba di pemukiman penduduk terdekat. Aku berhenti di sebuah toko. Poster di jendela membuatku terperangah.
            TELAH HILANG: WILHELMINA ‘WILLA’ SMITH, 14
            Oh, tidak!
            Pemukiman itu masih sepi, namun aku tidak lagi peduli. Tanggal yang tertera pada poster itu menyatakan bahwa aku sudah menghilang selama setahun.
            Tidak mungkin.
            Namun, kilasan ingatanku berikutnya kembali menyadarkanku.
            Aku berhasil lari dari bocah itu. Siapa namanya? Andy. Kami sedang bermain-main. Aku tidak melihat dinding sumur itu yang sudah rontok sebagian...
            “Tidak. Tidak, tidak, tidak...”
            Aku terduduk dan sesenggukan. Kupejamkan mata rapat-rapat, sambil berkali-kali meyakinkan diri:
            Ini cuma mimpi. Cuma mimpi...Cuma mimpi...mimpi...
****

            Aku terbangun di sebuah gubuk tua yang samar-samar kuingat sebagai rumahku, namun sendirian pagi itu. Tidak ada siapa-siapa. Aku tidak ingat atau pun tahu siapa keluargaku. Aku hanya ingat nama dan usiaku: Willa Smith, 14 tahun...


Jumat, 27 Mei 2016

"CATATAN TENTANG DENDAM"

Catatan ini dibuat berdasarkan kedalaman luka dan besarnya amarah. Bumbunya pedih luar biasa. Bersyukurlah bagi mereka yang masih memiliki sabar yang besar. Racun itu tak pernah benar-benar menyentuh mereka, meski belum tentu juga mereka terbebas dari murka. Namanya juga manusia.
Apa yang bisa dilakukan oleh dendam? Banyak sekali, terlalu banyak. Lisanlah senjata tertajam, meski banyak yang meremehkan dampaknya. Ya, mungkin juga termasuk mereka yang pernah mengejek betapa perasanya Anda. Kadang mereka mengatakannya hanya untuk membela diri, mencari pembenaran, hingga sekedar menghindari murka.
Banyak yang cukup lama terjebak di dalamnya. Banyak yang akhirnya berhasil keluar, meski dengan susah-payah. Mereka yang akhirnya menyadari bahwa hanya tanpanya mereka bisa lebih berbahagia.
Ada juga yang memilih untuk tetap tinggal di dalamnya, meski dengan risiko semakin dalam melukai diri mereka. Kadang mereka tidak sadar atau bahkan sudah tidak peduli lagi.
Mungkin benar, mendendam ibarat meminum racun setiap hari, namun tetap berharap orang lain yang akan mati. ("The Secret") Mereka tidak sadar secara perlahan telah menyiksa diri, atas nama ego pribadi dan harga diri. Seperti luka yang enggan mereka obati - atau mungkin bekas yang selalu mereka pamerkan ke sana kemari, berikut sejarah penyebabnya. Mungkin sudah ada yang pernah mencoba membantu mereka, namun bukankah semua bertanggung-jawab merawat diri masing-masing - termasuk berusaha menyembuhkan semua luka lama?
Dendam adalah berharap dan berusaha keras membalas semua perbuatan menyakitkan mereka, kalau bisa beberapa kali lebih kejam. Tidak peduli bila mereka sudah meminta maaf dan bersedia bertanggung-jawab, bahkan meski kesalahannya tidak sampai melukai atau bahkan menghilangkan nyawa. (Kalau ini lain cerita, ya.) Ada sumpah-serapah serta doa dan harapan bahwa mereka juga akan menderita, lebih bagus lagi sampai dua kali lipatnya. Apakah lantas ada bahagia setelahnya? Tidak juga. Yang ada malah kekosongan jiwa, meski berhasil menghancurkan sasaran dendam. Tak heran, banyak pelaku kejahatan dengan alasan yang sama: dendam. Tidak hanya sasaran utama, semua yang termasuk dalam kategori yang sama juga (ingin) mereka hancurkan. Trauma menjadi alasan. Pasang kuda-kuda dan serang sebelum keburu terluka (lagi). Hati-hati dalam level tertinggi, hingga menjadi paranoia. Semua orang dicurigai.
Dendam adalah pembunuh kecantikan dan kebahagiaan. Teman-teman menjauh, kalah oleh takut dan habisnya kesabaran. Mereka lelah. Ada kisah-kisah kelam masa lalu yang selalu dibawa-bawa, bahkan sampai diulang-ulang. Sering ada hasutan untuk membenci, mengganggu, atau bahkan menyakiti pihak tertentu, meski yang diajak sama sekali tidak mengerti apa-apa - termasuk alasannya. Atas nama setia kawan? Haruskah selalu demikian?
Hati manusia mudah berubah, terutama bila tidak disertai dengan keteguhan. Hari ini kawan, bisa jadi besok lawan. Begitu pula sebaliknya. Tiada yang abadi, jadi mengapa dendam harus menetap di hati? Atas nama ego dan harga diri?
Dendam adalah penyempit hati. Lama-lama semua yang sayang dan tercinta akan lari karena akhirnya tidak tahan lagi, meninggalkanmu sendiri berkubang benci. Salahkah mereka yang tidak bisa lagi setia? Ada rasa ngeri saat nama sosok yang dibenci diucapkan dengan nada dengki, bahkan sampai berkali-kali. Aib mereka disebar di sana dan di sini. Gosip kejam tanpa henti, hingga banyak yang enggan untuk bertemu lagi. Untuk apa terus-terusan mendengarkan daftar 'dosa lama' seseorang yang disebarkan di social media, baik berupa status sindiran atau usaha menjatuhkan nama secara terang-terangan? Adakah harapan bahwa yang punya nama akan merasa ditelanjangi hingga terhina setengah mati?
Salahkah bila lama-lama semua menjauh akibat hati yang kian menggelap oleh kesumatnya dendam? Bagaimana bila suatu saat mereka juga berbuat salah, seperti layaknya manusia biasa? Akankah mereka diperlakukan serupa, meski yang mereka perbuat tidak sengaja dan sudah menyesalinya?
Akan kemanakah dendam kau bawa? Sanggupkah terus menanggungnya, meski sering tanpa sadar kamu pun sama, berpotensi menimbulkan dendam di hati mereka - baik lewat perkataan maupun perbuatan? Ada kalanya bukan kau yang selalu jadi korban keadaan. Mentalitasmu yang memilih tetap demikian. Coba pikirkan. Di luar sana, banyak yang senasib atau mungkin lebih parah saat disakiti. Tidak semua selalu ingin membalas atau melampiaskannya kepada semua orang. Semua tergantung pilihan.
Memang, lebih mudah meminta agar jangan sampai mendendam. Namun, pernahkah meminta agar jangan sampai berbuat maupun berucap yang dapat menimbulkan dendam, meskipun niatnya hanya bercanda atau semata-mata "atas nama kejujuran"? Hanya Tuhan yang Benar-Benar Maha Pengampun. Tidak semua manusia sesabar dan sepemaaf itu.
Semoga kita tidak pernah - atau tidak lagi - termasuk keduanya: sang pendendam maupun pemicu dendam. Wallahu alam.
Aamiin.
R.
(Jakarta, 24 Mei 2016 - 23:30)

Kamis, 26 Mei 2016

"KAULAH 'LUBANG HITAM' ITU..."

Aku berhasil keluar dari lubang hitam itu
Nyaris separuh tubuhku lenyap di dalamnya
Ada sihir sendu dalam kisah-kisahmu
tentang kelamnya masa lalu

Ya, mungkin masa lalumu kelabu
Aku pasti jauh lebih beruntung
Namun, jangan mencari pembenaran dari semua ulahmu
hingga banyak yang lenyap ke dalam lubang hitam itu

Bukan aku,
meski nyaris tertelan habis oleh mantramu
Banyak suara dari tim penyelamat di luar sana
Semua kiriman dari-Nya
baik yang hidup maupun yang sudah tiada

Kini aku bisa kembali bernapas lega,
meski kau hanya bisa berlalu
dan aku gagal mencegahmu
mencari banyak korban baru...

R.
(Jakarta, 24 Mei 2016 - 23:15)

Sabtu, 21 Mei 2016

"RAMBUT PENDEK JANE"

“Kenapa sih, kamu nggak mau panjangin rambutmu aja? Biar lebih kayak perempuan, gitu!”
            Jane sudah muak mendengar komentar semacam itu jutaan kali. Dari kerabat setiap acara keluarga, teman-teman SMA, teman-teman kuliah...hingga sekarang, teman-teman kantor. Alasan mereka beragam, meski intinya sama saja.
            “Rambutmu pasti lebih keren kalo panjang. Kamu juga bakalan kelihatan lebih cantik.”
            Jujur, Jane benci sekali. Kenapa banyak orang harus begitu usil? Suka-suka dia dong, mau berambut pendek atau panjang. Mau Jane mengecat rambutnya pirang atau merah, mereka mau apa?
            Bisa nggak sih, seorang perempuan bernapas lega sehari saja, tanpa harus berurusan dengan mereka yang merasa lebih berhak mengatur-atur keseluruhan hidupnya?
            Bisa nggak sih, seorang perempuan hidup tanpa harus merasa takut atau terancam karena pilihan hidupnya?
            Ah, mereka tidak akan pernah mengerti. Biarlah mereka menilainya sesuka hati. Jane sudah lelah setengah-mati. Mereka merasa sudah tahu segalanya. Jane tidak berutang penjelasan apa-apa pada mereka.
*****
            Malam itu, ruangan yang luas di sebuah rumah itu terisi oleh sekumpulan orang. Mayoritas perempuan. Seorang perempuan berkaca mata tersenyum lembut dan penuh pengertian pada mereka.
            “Untuk sesi kali ini, ada yang mau berbagi cerita?” Satu tangan terangkat. “Silakan, Jane.”
            “Hai, nama saya Jane.”
            “Hai, Jane.”
            “Waktu itu, saya masih SMP.” Perempuan berambut pendek itu tersenyum getir, membayangkan dirinya dulu: ceria, berseragam, dan berambut panjang. “Saya pulang terlambat sore itu karena les matematika. Saya tidak sempat melihat mereka. Hanya, tiba-tiba saja...ada yang menjambak rambut saya dari belakang...”
            Jane berhenti. Meski pandangannya kini mengabur, dia masih bisa mendengarnya: isak tangis beberapa hadirin. Tangis yang mirip tangisan ibunya malam itu di ICU.

            “Jane?” tanya perempuan berkaca mata itu dengan prihatin. Namun, Jane masih diam. Di benaknya, masih ada versi mudanya dulu yang naas sore itu: terkapar di pinggir jalan sepi, berlumuran darah. Seragamnya robek dan wajahnya penuh lebam. Ada nyeri yang teramat sangat di antara tungkainya...


Jumat, 20 Mei 2016

"DIAM"

Diam, diamlah
wahai jiwa yang terlalu gelisah
Banyak aksara berkumpul di dalam kepala
Benakmu telah lama sesak oleh kata-kata
Mereka berebut ingin keluar dan bernapas lega

Diam, diamlah
terutama bila kau sudah terlalu lelah
Biarlah dunia tetap bising dengan sumbangnya banyak suara
Semoga kau juga bukan salah satunya
Memang, terlalu banyak yang membuatmu murka

Diam
Bunuhlah semua dendam
karena kamu terlalu berharga
meski mereka selalu membuatmu terluka
Mungkin ini saatnya merangkul sunyi
hingga saatmu kembali tegak berdiri...

R.
(Jakarta, 17 Mei 2016 - 19:15)

Minggu, 15 Mei 2016

"MENGAPA AKU OGAH MEMAKAI JASA OJEK PANGKALAN DI BLOK M LAGI"

Siang itu siang teraneh dalam hidupku...
Paginya, aku bertemu salah satu temanku di salah satu mal terbesar di ibukota. Hanya sebentar, sebelum akhirnya kami berpisah. Aku naik bus Trans-Jakarta menuju Blok M.
Minggu siang itu terasa panas. Biasanya aku lanjut naik bus non-AC sampai daerah rumahku. Namun, entah kenapa, rasa malas tengah melanda. Jadi, ku-charter saja ojek. (Sayang, waktu itu belum ada aplikasi online untuk memesan ojek.)
Di tengah perjalanan, si abang ojek mendadak nanya begini:
"Neng, lagi sendirian?"
Hah? Kupikir, jayus amat ini orang. Mana mungkin kita boncengan naik motor bertiga? Mau ditilang apa?
"Kalo hantu yang terbang di atas kepala saya ikut dihitung, berarti jawabannya enggak," jawabku asal. Eh, si abang ojek malah tertawa.
"Ah, si Eneng bisa aja," katanya. "Enggak, maksud Abang si Eneng masih sendiri atau sudah ada yang punya."
Deg! Mendadak perasaanku tidak enak. Apalagi kebetulan kita mulai lewat jalan sepi. Hiiih, jangan-jangan dia memang sengaja lagi!
"Kalo masih sendiri kenapa, kalo udah enggak kenapa?" tanyaku, sengaja mengulur-ulur waktu. Lagipula juga usil amat, tanya-tanya soal pribadi begitu! Aku juga tidak suka dengan pilihan kata si abang ojek tadi. 'Sudah ada yang punya?' Memangnya aku properti berjalan, apa?
"Saya lagi sangat butuh pendamping."
HAH?! Nyaris saja aku sukses terguling dari motor. Belum habis rasa kagetku, mulailah si abang ojek nyerocos. Katanya sudah pernah diselingkuhi tiga kali, punya usaha sendiri dan rumah pribadi, hingga sudah pernah naik haji.
Aduh, bagaimana caraku kabur dari sini?
Akhirnya pura-pura kulirik HP. Lalu, mendadak aku berseru: "Bang, ke Gandaria City aja, deh."
"Lho, gak jadi pulang, Neng?"
"Udah ditunggu tunangan saya sama orang tuanya." Aku bohong, tapi apa boleh buat. Orang ini menakutkan.
"Tunangan?" Wajah si abang ojek sekarang jelas-jelas kelihatan kecewa. Bodo amat. "Neng, gak bohong, 'kan?"
"Pokoknya ke Gandaria City sekarang!" perintahku tegas. Males banget. Bohong atau tidak bukan urusan elu!
Si abang ojek diam sepanjang perjalanan. Baguslah. Eh, sampai di tujuan, mendadak dia minta tambahan ongkos. Alasannya jauh. Basi banget, karena rumahku sebenarnya lebih jauh. Tapi sudahlah, asal aku bisa menyingkirkannya dengan segera. Malas juga berlama-lama. Seram.
"Makasih, sayang. Muahh!" Si abang ojek memonyongkan bibirnya, kayak dia pacarku yang mau kasih cium jauh saja. Bah, aku langsung kabur ke dalam dan ke toilet terdekat.
Mau muntah. Huekk!!
Sejak itu, aku ogah pakai jasa ojek pangkalan di Blok M. Untung sekarang banyak pilihan.
R.
(Jakarta, 13 Mei 2016 - untuk Tantangan Menulis dalam Pertemuan Klub Menulis Couchsurfing Jakarta di Excelso, Sarinah - Thamrin. Topik: "lamaran".)

"SEHARIAN PENUH DI JAKARTA BARAT..."

Mungkin kalau ada yang bilang saya urang jalan-jalan dan kurang hiburan ada benarnya juga. Sekalinya jalan-jalan seharian penuh (di daerah yang tidak familiar pula), pulangnya langsung tepar.
Kamis itu (12 Mei 2016) diawali dengan memberi les privat di suatu perumahan di Jakarta Barat. Berhubung belum pernah tahu tempatnya, saya sengaja berangkat sepagi mungkin. Untunglah, ternyata itu keputusan yang tepat. Sempat berputar-putar (termasuk nyasar!) selama dua jam sebelum akhirnya tiba juga di tujuan.
Setelah selesai, iseng-iseng saya mampir ke Bentara Budaya Jakarta pada malam harinya. Untuk apa? Seorang kawan memberitahu bahwa Six Strings (yang terdiri dari Baim, Baron, Tohpati, Dewa Budjana-nya 'Gigi', dan Eros Chandra-nya 'Sheila On 7/SO7') tampil malam itu. Saya yang sudah cukup lama tidak begitu mengikuti perkembangan musik penasaran. Lumayan, hiburan gratis. Apalagi, kebetulan saya juga suka musik rock.
Jadi, bagaimana penampilan mereka malam itu? Saya sangat menyukainya. Lucu sekali melihat gaya mereka berduet, berkolaborasi, hingga terkesan adu keahlian bermain gitar - namun masih dengan aura persahabatan yang hangat. Mereka bahkan sesekali saling menjahili sesama dan melempar guyonan kepada penonton hingga banyak yang tertawa. Yang paling ramai mungkin saat Baim dan Eros berduet memainkan lagu "Dan" milik 'SO7' dan saat Six Strings bersama-sama membawakan lagu "Bendera" yang populer dinyanyikan 'Cokelat'. (Tentu saja, Eros juga yang menulis liriknya.)
Hmm, kira-kira apa ya, acara untuk Kamis malam berikutnya?
R.
(Jakarta, 13 Mei 2016 - 19:00)


Sabtu, 14 Mei 2016

"SAYAP PATAH BIDADARI CILIK"

Aku merindukan-Nya. Sejak hari itu, hidupku tak lagi sama.
            Aku hanyalah siswi sekolah biasa. Pagi belajar, sore pulang. Kemana-mana lebih sering berjalan kaki. Biasa sendiri. Tidak pernah ada masalah. Selama ini, aku baik-baik saja.
            Hingga hari itu...
            Seperti biasa, aku pulang lewat jalan yang sama. Entah kenapa, kali ini ada mereka. Berkumpul bersama, mengobrol dan tertawa keras-keras. Bau arak dan tuak yang begitu kuat membuatku pusing dan mual. Mata-mata mereka merah dan berair.
            Haruskah aku berbalik arah? Ah, ini ‘kan, rute biasaku. Masa aku yang harus mengalah hanya gara-gara ada mereka? Kata Ayah, aku mesti berani, meski perempuan. Hanya boleh takut pada-Nya. Bunda yang selalu was-was dan rajin mengingatkan diriku agar selalu waspada dan menjaga diri. Gara-gara itulah mereka berdua sering bertengkar.
            Tak kupedulikan bisik-bisik, cekikikan, hingga suit-suitan nyaring mereka yang memang mencari perhatianku dengan sengaja. Norak dan menjijikan. Kata Ayah dan Bunda, mereka pengangguran. Tidak ada kerjaan, terlalu banyak waktu luang. Terus malah mengganggu orang.
            Kukira pakaian seragamku sudah cukup panjang. Namun, ternyata dunia bohong saat bilang bahwa aku takkan pernah diganggu karenanya. Aman?
            Tidak, orang-orang mabuk itu tiba-tiba menyergap dan menarikku dari belakang! Tolong...
*****
            Kata Ayah dan Bunda, aku akan selalu menjadi bidadari mereka. Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah bidadari harusnya suci? Seharusnya bidadari punya sayap, hanya agar bisa terbang tinggi dan jauh sekali – jauh dari tangan-tangan yang ingin merusak semua keindahan yang ada. Kadang alasan mereka hanya karena mau dan bisa melakukannya. Itu saja.
            Bagaimana ini? Kini sayapku telah patah. Aku tak lagi sama. Rusak semua.
            Gara-gara mereka!
            Sekarang aku hanya ingin bersama-Nya. Salahkah? Kasihan juga Ayah dan Bunda. Mungkin hanya Dia yang mau menerimaku apa adanya. Apa jangan-jangan Dia menyalahkanku juga, seperti kata mereka yang merasa sudah tahu segalanya?
            Ah, sudahlah. Entah...
*****
            “Bip...bip...bip...biiiip...!”
            “PUTRIII!”

            Siang itu, di salah satu kamar di sebuah rumah sakit, seorang ibu menangis histeris, sambil menatap pilu pada wajah bidadari ciliknya yang kini beku, sebelum mereka menutupinya dengan selembar kain putih...

"DOA UNTUK SESOSOK ARWAH"

Tidur, tidurlah dengan tenang
di peristirahatan terakhirmu, wahai kawan
Biarlah dirimu menjadi indahnya kenangan
di suatu masa, di relung hatinya

Tidurlah dan semoga tiada gundah
Semoga cukup doa penenang para arwah
Semoga tiada lagi resah
Percayalah, dia akan baik-baik saja

Semoga damai besertamu
dan hidupnya tak lagi kelabu
Biarkan dia menemukan cinta yang baru
Aku tahu, itu juga yang kau mau

Semoga Tuhan mengampuni semua dosamu...

R.
(Jakarta, 13 Mei 2016 - 17:15)

Selasa, 10 Mei 2016

"LEDAKAN PAGI ITU..."

Aku berangkat ke kantor dengan perasaan tak menentu. Pagi itu, aku baru saja bertengkar dengannya. Sebenarnya soal remeh. Namun, hal itu cukup merusak mood kami berdua saat sarapan. Aku langsung menghabiskan nasi goreng dan telur mata sapi secepat kilat. Kutenggak pula jus apel, sebelum kusambar tas kantorku dan keluar rumah tanpa berpamitan, tidak seperti biasanya. Biar saja. Biar ini jadi pelajaran pahit baginya!
Masih bisa kuingat jelas ekspresinya pagi itu sebelum kutinggal. Dia menatapku seakan baru saja kena tampar. Wajah cantiknya memucat, tiba-tiba tampak semuda gadis kecil yang ketakutan...atau mungkin marah dan terluka. Matanya berkaca-kaca.
Aduh, kenapa perempuan itu harus begitu perasa?
Kulihat dia tidak menghabiskan sarapannya. Dia beranjak ke dapur, membawa semua piring dan gelas dari meja makan. Kukira dia akan membuang sisanya. Tapi, ternyata dia hanya memindahkan sisa sarapan ke dalam Tupperware birunya.
Hanya itu yang kuingat, sebelum meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Hanya itu yang kuingat, dalam perjalanan menemui klien pagi itu di sebuah kedai kopi di tengah kota ketika ledakan itu membuatku terlempar cukup jauh.
Hanya dia, sebelum gelap menelan seluruh kesadaranku...
--- // ---
Dia berangkat ke kantor tanpa berpamitan padaku seperti biasa. Pagi itu, kami baru saja bertengkar. Dia tidak pernah mau mendengar. Aku benci kebiasaannya menggampangkan persoalan. Aku tersinggung dituduh sebagai 'ratu drama'. Sialan! Rusak sudah selera makanku. Dasar egois!
Apa iya semua laki-laki begitu egois dan tidak punya perasaan?
Ah, biar saja dia pergi. Pergilah, lari dari masalah seperti biasa. Aku tidak peduli. Selalu harus dia yang menang! Aku tidak pernah benar di matanya.
Kunyalakan TV sebelum mulai mencuci piring. Terdengar suara reporter membacakan berita pagi itu:
"Baru saja terjadi ledakan di-"
Prang! Gelas terlepas dari tanganku dan pecah berhamburan di lantai. Tempat itu!
Aku tidak begitu mendengarkan ucapan si reporter. Mataku terpaku pada layar TV. Tampak asap putih membubung di parkiran. Orang-orang sekitar menjerit dan berlarian. Bodohnya, ada juga yang mendekat untuk menonton. Pakai foto-foto segala lagi, meski bukan fotografer media.
Saat melihat kedai kopi yang hancur itu, mendadak aku teringat dia...
--- // ---
Tuut...tuuut...tuuuut...klik!
"Halo?"
"Kamu dimana?"
"Baru saja dievakuasi." Terdengar isak-tangis itu di telepon. "Aku nggak apa-apa. Bos minta semua karyawan dipulangkan hari ini."
"Oooh, syukurlah."
"Maaf soal tadi."
"Ya, sama-sama. Yang penting sekarang kamu segera pulang."
"Oh, oke."
Klik! Tuut...tuuut...tuuuut...
R.
(Jakarta, 2 Februari 2016 )

Minggu, 08 Mei 2016

"ADUH!"

Semalam kulihat kau
Ah, dasar sial!
Mengapa pula harus begitu?
Memang, sudah lama kita tidak bertemu
Seharusnya aku sudah kebal

Aku ingin segera membuka mataku
Entah kenapa, berat rasanya
Kau masih begitu nyata
dan mengapa aku tampak bahagia?
Seharusnya aku murka

Bangun, bangunkan aku!
Ilusi ini begitu mengganggu
Mengapa kau harus tersenyum seperti itu?
Tubuhku membeku
Wajahku kaku
Lidahku kelu...
dan wajahmu semakin maju...

Aduh!
Jangan sampai lagi aku memimpikanmu
apalagi seperti itu
Hiiih!

R.
(Jakarta, 7 Mei 2016 - 15:15)

Kamis, 05 Mei 2016

"KEAMANAN DI LUAR RUMAH UNTUK SEMUA: MAUKAH KITA MEWUJUDKANNYA?"

Ada yang pernah bilang, kalau di Indonesia ada terapi khusus anger management, sebaiknya saya harus mendaftar. Mungkin mereka benar, meski saya juga punya alasan bagus untuk marah.
            Saya tidak akan berpura-pura: masih banyak hal yang membuat saya marah. Terlalu banyak, meski kadang saya berhasil menahannya. Meski kadang saya masih suka gagal menyembunyikannya.
            Waktu TK, saya pernah nekat pulang berjalan kaki sendirian ke rumah kakek dan nenek sepulang sekolah. Cukup gila memang. Alasannya juga cukup konyol: saya kira saya ditinggal kakak dan adik (yang waktu itu juga satu sekolah.) Padahal, mereka hanya keluar sebentar untuk jajan dan kami sudah sepakat menunggu jemputan orang tua. Waktu itu juga belum ada ponsel.
            Saya sudah cukup jauh dari sekolah saat mobil orang tua melintas lewat. Saat saya berteriak: “Papa!”, Ford abu-abu itu langsung mengerem mendadak. Jendela supir terbuka, menampakkan wajah shock Papa.
            “NGAPAIN KAMU DI SITU?!”
            Singkat cerita, akhirnya kami kembali ke sekolah untuk menjemput kakak dan adik – yang waktu itu kebingungan mencari saya. Meski sempat diomeli sekaligus dinasihati panjang-lebar, waktu itu Papa sempat bertanya: “Emang kamu tahu jalan ke rumah Nini?”
            “Tahu,” jawab saya polos. Saya membuktikannya dengan memberitahu rute yang biasa kami lewati bila ke rumah kakek dan nenek dari sekolah. Papa hanya mengangguk puas.
            Waktu itu, saya masih terlalu polos. Saya hanya tahu saya bosan menunggu dan ingin segera pulang. Kalau didekati orang yang berniat jahat, saya tinggal teriak atau cari pak polisi. (Ini ajaran almarhum kakek yang pensiunan polisi.) Pasti akan ada yang menolong.
            Polos sekali, ya? Begitulah. Namanya juga masih anak-anak. Saya memang termasuk yang beruntung. Tidak pernah kena ‘jam malam’ meski anak perempuan, meski jarang keluar malam juga kecuali kalau memang benar ada perlunya. Padahal, pas baru kuliah, saya sempat malu setengah-mati karena Mama sempat kekeuh ingin mengantar-jemput saya. Ada teman-teman yang bilang kalau saya ‘anak mami’. Kesannya manja dan nggak cool. Barulah setelah ‘nego’ yang cukup alot dengan beliau, saya baru boleh pulang-pergi naik bus sendiri. Lama-lama kemana-mana makin berani sendiri. Ortu senang, tentu saja. Anak perempuan mereka yang sebenarnya masih suka ringkih kalau kecapekan ini ternyata – dan akhirnya – bisa mandiri. Sekalinya minta antar-jemput kemana-mana, biasanya hanya karena dua hal: lagi sakit sama lagi bokek. Hehe. Yang paling nggak enak, udah sakit, pas lagi bokek pula.
            Kadang Mama juga masih suka deg-degan pas saya suka pulang malam dulu (sebelum akhirnya saya ngekos sendirian dan beliau harus rela melepas saya.) Kadang beliau ‘mengutus’ adik lelaki saya untuk datang menjemput bila saya kemalaman. Tidak apa-apa, sih. Saya tetap menganggapnya sebagai bentuk perhatian. Kalau memang lagi bisa dan adik tidak keberatan, kenapa harus ditolak? Lumayan, hemat ongkos. Kadang bisa sekalian makan malam bareng adik dulu sebelum sama-sama pulang.
            Tapi, saya juga sadar bahwa tidak selamanya saya bisa bergantung pada orang lain. Banyak yang salah mengartikan sikap saya ini dengan ‘sombong’ dan ‘sok tidak butuh laki-laki atau siapa pun’. Padahal, kalau sedikit-sedikit minta ditemenin, lama-lama bisa ganggu juga, lho! ‘Kan setiap orang punya kesibukan masing-masing.
            Saya ingat malam selepas perayaan ultah sahabat masa kuliah di sebuah resto yang jaraknya hanya sekitar tiga blok dari rumah kakek-nenek saya waktu itu. Pacar salah seorang teman se-geng melirik saya.
            “Pulang naik apa?”
            “Jalan kaki.”
            “Sendirian?”
            “Iya.”
            “Bahaya. Cewek nggak baik pulang malam sendirian.”
            “Udah biasa.” Jujur, saya mulai tidak suka. Cara ngomongnya begitu mendikte dan menghakimi. “Udah hapal daerah sini.”
            “Yaa, belum ‘kejadian’ ajaa.”
            “Maksud lo?” Jujur, saya mulai meradang. Makin nggak suka, bahkan sampai melototi pacar teman dengan perasaan benci. Menurut saya, kalau memang khawatir, mending langsung menawarkan tumpangan pulang, deh. Nggak usah menghakimi segala, apalagi sampai mengharapkan bahwa saya akan ‘kenapa-kenapa’ di jalan. ‘Kan saya jadi antipati. Saya paling nggak suka diancam. Kesannya kalau saya beneran ‘kenapa-kenapa’ di jalan ya, salah saya yang pulang malam sendirian.
            Seorang sahabat (yang lebih berpengalaman daripada saya dalam hal ini) pernah mengingatkan saya begini: semua yang baik butuh proses dan waktu. Masih banyak laki-laki yang masih takut menghadapi perubahan. Tak hanya takut kehilangan rasa aman karena rasa berkuasa, mereka sudah terbiasa dengan semua kenyamanan yang mereka dapatkan berkat dukungan masyarakat patriarki. (Ya, termasuk membatasi ruang gerak perempuan dalam ruang publik – atas nama ‘keamanan’.) Padahal, kalau keamanan di luar rumah ada untuk semua, ‘kan sama-sama enak. Perempuan bisa naik bus sendirian tanpa takut dilecehkan. Anak-anak perempuan bisa pulang sekolah sendirian tanpa harus khawatir bakal diganggu preman di jalan...atau malah mati dibunuh pemerkosa.
            Dan laki-laki nggak perlu selalu jadi supir dan bodyguard para perempuan di keluarga mereka. Jujur saja, deh. Kadang kalian capek juga ‘kan, sering diminta menemani kami belanja atau mengantar-jemput kami kemana-mana? Sementara kami pun juga punya keperluan dan sama pentingnya. Masa kami harus selalu menunggu kalian punya waktu luang dan tenaga?
            Mungkin belum semua laki-laki berpikir seperti almarhum Papa, adik, atau sahabat saya ini. Beruntunglah saya, selama mengantar-jemput saya bermalam-malam itu, adik tidak pernah mengeluh atau menasihati saya mengenai bahayanya perempuan keluar malam sendirian. Bahaya mah, dimana-mana dan bisa terjadi kapan saja. Rumah dengan gembok paling tebal atau sistem keamanan elektronik saja masih bisa kemalingan. Asal kita-nya saja yang waspada dan saling menjaga sesama.
            Adik juga tidak pernah mengantar-jemput saya malam-malam karena saya perempuan dan (dianggap) lemah kayak barang pecah-belah. Adik melakukannya karena sayang, karena kami keluarga, dan karena dia menghormati dan menghargai saya sebagai manusia yang utuh dan setara.
            Maukah kita mewujudkan keamanan di luar rumah untuk semua, tidak hanya laki-laki saja? Jangan sampai ada lagi yang bernasib seperti Yuyun, adik kita di Bengkulu bulan lalu...
            R.

            (Jakarta, 3 Mei 2016 – 19:15)